SERAMBI PROYEK JAZZ!
13 Agustus 2010 2 Komentar
Adalah sebuah proyek yang tidak bisa diambil alih oleh para pejabat pemerintahan. Suatu proyek yang nilainya tidak bisa diubah naik ataupun turun supaya bisa membawa keberuntungan dan kebahagiaan bagi segelintir kelompok orang. Proyek yang sebaliknya memberi kebahagiaan kepada si penggarap, juga kepada orang-orang lain yang memetik manfaatnya. Proyek ajaib yang melibatkan banyak orang ini pun bahkan tidak memungut bayaran sepeser pun dari semua orang yang menikmatinya. Namun sayangnya proyek ini sebaliknya tidak menjamin secara langsung kantong penggarapnya akan bisa otomatis membengkak, malah sebaliknya menguras tak hanya materi, tapi juga energi. Tapi sungguh ajaib memang, proyek ini bahkan punya kecenderungan bisa membuat penggarapnya mau terus melakukannya lagi dan lagi walau dengan kondisi aneh tersebut di atas.
Malam tadi, 12 Agustus 2010, sekitar 400 anggota FPI dengan wajah-wajah sumringah sigap menyerbu dan merangsak masuk ke dalam gedung konser Goethe Haus. Di bulan suci ini mereka pun telah memenuhi gedung ini untuk satu alasan, yakni untuk memenuhi hasrat mereka sesuai nama kelompok mereka (sesuai dengan kelakar Denny Sakrie, kritikus musik yang dinobatkan sebagai pembawa acara malam itu: FPI ‘tandingan’ baru saja terbentuk malam ini, Front Penikmat Improvisasi). Ya, para penonton yang sukarela ‘dibaptis’ menjadi anggota FPI yang satu ini memang sangat terpuaskan oleh proyek yang satu ini, proyek yang sungguh menggerakkan tak hanya hati tapi juga jiwa.
Mery Kasiman Project, sesuai namanya, digarap oleh pianis dan komponis jazz muda, Mery Kasiman. Rupanya generasi sekarang memang sedang giat-giatnya bikin proyek. Di saat Jakarta disibukkan dengan proyek-proyek pembangunan pusat perbelanjaan baru, ternyata tidak serta merta membuat generasi ini seluruhnya menjadi generasi yang cuma bisa sibuk dengan konsumtivisme. Apakah ini berarti ada gerakan anti kemapanan gelombang baru? Haha, memang terlalu cepat untuk menilainya demikian. Namun setidaknya ada banyak yang bisa kita tiru (atau tidak tiru) dari apa yang telah disajikan oleh mereka ini semalam tadi.
Menurut gw, sebuah standar akan pentas jazz di Jakarta telah makin terasah dan terbentuk melalui rangkaian acara Serambi Jazz yang telah memasuki tahun keduanya ini di pusat kebudayaan Jerman. Mas Ija (Riza Arshad) selaku kurator benar-benar melakukan tugasnya dengan jeli, bukan hanya baik. Ia memiliki suatu kualitas yang layaknya dimiliki oleh para produser musik di Indonesia, yaitu melihat potensi terbaik dari para musisi – terutama musisi muda – lalu membawa mereka ke pentas yang memungkinkan para musisi ini untuk dikenal oleh masyarakat yang lebih luas lagi. Bila saja industri musik kita dipercayakan kepada produser-produser seperti beliau, maka wajah permusikan (dan tentu saja pertelevisian) kita akan nampak lebih cantik alami tanpa polesan kosmetik-kosmetik yang terlampau dipaksakan untuk menutupi aneka bercak di wajahnya.
Pentas malam ini terbagi atas dua babak besar: 5 komposisi asli karya Mery dan 4 karya Thelonious Monk dan John Coltrane yang digubah oleh Mery. Gw selalu setuju bahwa karya musik seseorang mencerminkan kepribadiannya. Dan Mery telah dengan tulus dan jujur (tanpa harus berusaha ‘Tegas’ dan ‘Adil’) membuat pencitraan dirinya melalui musiknya. Dengan kebanyakan karya balada, komposisi Mery memberikan suatu warna seksi horn yang lebih bulat dan lebih hangat dengan penggunaan instrumen flute dan klarinet sebagai pengganti seksi alto saksofon. Ya, sosok Mery dan karya-karyanya sangat membuat kita teringat akan Maria Schneider, konduktor dan komponis Jazz asal Amerika Serikat.
Dengan didukung oleh Indrawan Tjhin dan Sandy Winarta pada seksi ritem yang sungguh sangat saya kagumi, karya Mery memiliki fondasi yang amat kokoh. Rupanya jam terbang Sandy di banyak sekali grup Jazz sangat terlihat dalam kematangannya dalam memandu seluruh ensembel dalam kepaduan tak hanya tempo, tapi juga dinamika. Indrawan yang kiprahnya juga sudah sangat memukau telah menunjukkan kedalamannya pada setiap nada yang menjadi landasan harmoni ensembel ini. Gw yakin ia hanya perlu sedikit menyempurnakan penguasaan posisi-posisi tinggi, lalu semua persenjataannya akan makin komplit. Kemudian kehadiran Eugene Bounty yang mendapat kesempatan solo klarinet di dua komposisi berbeda sungguh merupakan surga bagi kami, penonton yang patuh ini. Ya, kami patuh untuk terhanyut pada alunan frase demi frase yang diartikulasikan dengan sangat jernih olehnya sehingga sepertinya sulit bagi gw untuk ngga teringat akan lick-lick Eddie Daniels. Tidak hanya tone yang amat manis, tapi juga karakter yang sesekali genit bahkan meliar di beberapa momen membuat Eugene pantas dinobatkan sebagai bintang panggung malam ini.
Beberapa musisi senior lainnya pun turut memeriahkan panggung di komposisi yang berbeda. Arief Setiadi, saksofonis serba bisa ini pun menampilkan kualitas yang memang hanya bisa diperdengarkan oleh musisi lain yang sama-sama telah memiliki jam terbang tinggi. Gw rasa Dewa Budjana juga adalah salah satu alasan kenapa aula konser Goethe Haus menjadi demikian sesaknya oleh para penonton muda yang antusias. Dengan Parker-nya, ia memainkan kalimat demi kalimat melodi berdasarkan interval nada yang berdekatan, lalu kemudian menggunakan salah satu nada sebagai pedal berkali-kali sehingga terbentuk interval yang makin lebar dalam solonya. Lalu ada Mas Ija dengan akordeonnya yang selalu terdengar eksotis setiap kali gw mendengarnya. Pilihan register suaranya amat kawin dengan karakter suasana lagu, sehingga bisa amat mengaksentuasi rangkaian nadanya dengan nafas yang sangat hidup lewat permainan dinamika tangan kirinya.
Karya-karya dengan tempo yang lebih cepat memang lebih banyak dimainkan di bagian kedua konser ini. Kejelian Mery dalam menulis pembagian nada pada masing-masing alat tiup memang menunjukkan keahlian penulisan yang sama sekali bukan sembarangan! Sayang sekali judul masing-masing karya tidak jelas terdengar karena Mery menyebutkannya di tengah riuh tepukan tangan penonton. Pada sebuah komposisi, Mery menggunakan hanya ensembel tiup memainkan bagian intro. Mereka memainkan harmoni dengan voicing yang makin meninggi nadanya, kemudian gesekan kontrabas menyambutnya untuk mengisi bagian bawah yang telah ditinggalkan tadi. Sayang sekali pada trombon ada banyak nada yang terdengar tidak stabil pada nada-nada tinggi ini. Lalu pada komposisi lainnya di awal bagian kedua, Mery dengan kreatif amat berani menerapkan tutti-tutti panjang yang eksplosif pada orkestrasi seksi tiup. Namun sayang sekali pada eksekusinya tidak ada ledakan yang terjadi dan itu disebabkan oleh keraguan para pemain tiup ini. Keraguan yang agak panik pun cukup tercium di saat mereka memainkan karya Mery yang bersukat 7 hitungan. Entah ini terjadi karena terbatasnya sesi latihan bersama atau terbatasnya sesi latihan pribadi. Memang pengarahan Mery sebagai konduktor pun akan bisa membantu mengurangi resiko ini jika ia berani terlihat lebih ‘galak’ (atau mungkin di sinikah letak unsur ‘Tegas’ tadi lebih diperlukan lagi dalam musiknya?) di hadapan para musisi ini. Kegalakan ini pula yang sebenarnya masih gw harapkan ada pada karya-karya komposisi Mery sendiri. Namun memang sedikit memaksakan jika karakter tersebut tidak terlalu sesuai dengan komponisnya. Hanya saja bila aspek-aspek ke’jahil’an ini bisa diterapkan dengan cerdik, maka komposisinya akan semakin kaya akan warna.
Namun kekurangan-kekurangan ini telah amat terbayarkan oleh penampilan luar biasa Barry Likumahua, yang berhasil menunjukkan kualitasnya sebagai pemain Jazz yang komplit: Kaya akan penguasaan berbagai perpindahan gaya musikalitas yang ditulis oleh Mery; juga kaya akan teknik yang memungkinkannya melibatkan seluruh fret pada gitar basnya dalam solo yang apik dan dinamis. Inilah profil musisi Jazz yang berani mengambil resiko dan menuntaskannya dengan luar biasa! Mery pun sangat pintar memilih musisi yang sangat tepat pada seksi ritemnya: Robert Mulyarahardja yang dengan ketenangannya yang khas telah menghipnotis para penonton; juga Ali Akbar yang telah berperan amat baik dalam membangun rasa aman di antara rekan-rekan setimnya, namun juga masih sedikit malu-malu dalam merespon ruang-ruang yang tersedia di antara bebunyian seksi tiup.
Akhirnya, sebuah encore yang amat manis menutup konser yang amat membahagiakan ini dimainkan oleh Mery (yang sukses dipaksa oleh kami penonton untuk duduk di depan piano), Mas Ija, Robert dan Barry. Di antara solo demi solo, terlihat Arief Setiadi menyelinap ke balik drumset dan sigap mencari brush stick untuk kemudian bergabung dalam ensembel itu. Malam ini sempurna sudah dan harapan pun terngiang di kepala: Apakah proyek ajaib ini akan terus bergulir?
Mari kita siapkan hal itu untuk improvisasi selanjutnya!
Halo Andreas/Arianto,
terima kasih telah menulis tentang Serambi Jazz.
And thank you for sharing the joy you had that night 🙂
Sampai ketemu lagi di edisi Oktober! Ok!
Salam
Dinyah Latuconsina
Assistentin Kulturprogramm
Goethe-Institut Indonesien
Jl. Sam Ratulangi 9-15
Jakarta 10350
Tel. +62-21-23550208
Fax. +62-21-23550021
http://www.goethe.de/jakarta
http://www.goethe.de/tanzconnexions
Would you like to receive regular updates on our activities and offers?
Then subscribe to our mailing list! http://www.goethe.de/jakarta-newsletter
Halo Dinyah, terima kasih juga atas pentas yang sangat bermutu ini.
Boleh tahu apa program selanjutnya Serambi Jazz di bulan Oktober dan tanggalnya?