Impresi Musikal
27 Agustus 2010 4 Komentar
Seharusnya gw menulis ulasan tentang resital piano dari seorang teman gw semalam tadi. Tapi apa daya, macetnya ibukota yang semakin menggemaskan ini membuat gw tiba di Goethe Haus tepat ketika sesi kedua akan dimulai. Dan gw pun ketinggalan menyaksikan permainan Bach dan Bartok-nya Nadya Janitra. Jadi, apakah gw pantas menulis sebuah ulasan dari sebuah resital yang nggak gw tonton dengan lengkap? Akhirnya setelah menyaksikan hingga resital berakhir, permainan piano Nadya malam ini bener-bener ngga memungkinkan gw untuk ngga tergerak nulis apapun. Gokil! Mana mungkin pulang dari resital sekelas itu gw nggak bawa pulang perasaan dan pemikiran apapun?
Sesi setelah istirahat dimulai dengan Sonata Piano pertama karya Schubert di tangga nada a minor, D. 537. Melihat dari judul setiap bagian dari sonata ini, kita akan mudah terjebak untuk mengharapkan sebuah karya yang relatif bertempo cepat: Allegro, ma non troppo; Allegretto quasi Andantino; dan Allegro Vivace. Tapi ternyata eksekusi Nadya sungguh sangat tepat sehingga detil kemunculan tema dan baris-baris melodi pengiring lainnya pun pada dinamika yang tepat. Tempo pun terjaga dengan baik walau bukan mekanis, melainkan tarik-ulur dimainkan tanpa berlebihan. Tanda-tanda istirahat pun mendapat tempat yang istimewa, seolah tanda istirahat merupakan not yang juga harus dimainkan dengan dinamika dan tempo yang baik pula. Ya, emang sedikit filosofis sih, tapi dalam hidup pun demikian, bukan? Saat yang tepat untuk mengatakan atau tidak mengatakan sesuatu adalah sangat penting, sama pentingnya dengan isi dari apa yang ingin kita katakan (atau tidak kita katakan). Memainkan karya romantik itu berbahaya. Kenapa? Karena dengan mudahnya kita bisa terjebak pada menyamaratakan semua karya yang tercipta di jaman itu dengan terlalu dalam dan terlalu berat. Namun dengan cerdiknya Nadya bisa tetap mempertahankan kedalaman sentuhan pianonya sehingga ciri khas Schubert, yang lebih banyak dikenal dengan lagu-lagu nyanyiannya (‘lied’, dalam bahasa Jerman), terasa lebih bernyanyi pula di karya piano ini.
Kemudian ada dua karya komponis Perancis yang paling berpengaruh di abad ke-20, Claude Debussy: Masques dan L’isle joyeuse. Kenapa gw sebut dia berpengaruh? Karena karya-karya (terutama piano dan orkestra) di jaman setelahnya banyak sekali mengeskplorasi permainan warna yang telah dilakukan oleh Debussy melalui penggunaan harmoni, ritme dan melodinya. Coba aja dengerin karyanya Messiaen dan Boulez (yang juga dari Perancis), lalu Toru Takemitsu dari Jepang, juga Jonathan Harvey dari Inggris, mereka meneruskan apa yang Debussy telah lakukan. Dan hubungannya dengan permainan Nadya? Ya itu dia, mainin karya Debussy ngga cuma soal ketepatan nada dan ritmisnya, tapi juga gimana caranya menghasilkan warna demi warna yang terbentuk melalui jalinan nada-nada yang terlukis pada partitur musiknya. Yang gw sangat salut adalah dinamika yang begitu kaya sehingga suara yang berlapis-lapis itu bisa bener-bener terurai dan jelas terdengar secara detil lewat permainannya! Semua itu tanpa mengabaikan penjiwaan yang bener-bener pas pada setiap frase musikalnya: kapan harus mempercepat atau memperlambat tempo, kapan harus mengambil nafas dan memperjelas kalimat, juga kapan harus menambah atau menahan kedalaman sentuhan pada tuts piano.
Ah, gw makin kerasa rugi ngga bisa nonton dua karya pertama!
Untungnya (hahaha, rugi plus untung sama dengan balik modal dong?) Nadya mau berbaik hati mainin bahkan hingga tiga buah encore! Ya, gimana nggak, semua yang hadir di situ benar-benar merasa terpuaskan dahaganya akan musik yang bermutu lewat penampilan prima Nadya, sehingga mereka ngga akan bisa menghentikan tepuk tangannya secepat itu. Sayangnya gw kurang bisa denger judul dari ketiga karya pendek yang Nadya mainkan. Encore pertama, sebuah lagu Jazz Ballad bertempo lambat (ya iyalah, namanya juga ballad) yang juga kembali menunjukan kepiawaian Nadya menciptakan warna dan lapisan dinamika yang amat pintar. Ah, gw baru dapet judulnya Dream Scene, karya Rocherolle! Terlepas dari sentuhan Nadya yang memang ngga terlalu nge-Jazz, tapi pendekatan Nadya dalam mainin karya itu cukup menarik juga sih. Ya, kembali hal itu terlihat dari karya kedua oleh Christopher Norton (yang terkenal dengan Microjazz Duet-nya yang sering sekali dimainkan siswa-siswi piano). Prelude no. 7 yang jazzy ini pun sebenernya kurang kerasa greget jazz-nya di tangan Nadya, tapi ya, yang dia lakukan malah menunjukkan sisi lain dari karya jazzy ini yang biasanya ngga akan bisa kita dapatkan dari penampilan pianis jazz. Mungkin kita bisa lihat itu sebagai hasil dari rekonstruksi budaya yang berbeda? Haha..
Malam itu ditutup bukan sekadar dengan manis, namun juga menyentuh amat sangat dalam dengan persembahan encore Nadya untuk ibunya tercinta. Gw rasa lagu ini punya suatu kenangan yang spesial bagi mereka berdua, dan spesialnya pula hal itu bisa kita semua rasakan pula. Sentuhan yang tak hanya lembut tapi juga bisa sentimentil di bagian-bagian yang lebih klimaks, lalu suasana yang dimainkan pun membentuk alur emosi yang membuat kita merasakan haru. Dan haru itulah yang tersimpan dalam memori gw hingga akhirnya gw keluar dari gedung pertunjukkan dan menyalami Nadya dan segera pulang sebelum memori itu hilang.
Keharuan selalu menjadi alasan yang paling kuat bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Keharuan memberi dorongan yang aneh, yang terkadang enerjik namun sekaligus juga lembut. Keharuan dari hasil melihat sejenak ke belakang, membuat kita ingin melakukan sesuatu yang lebih memiliki makna. Dan malam ini Nadya berhasil membuat semua penonton menyimpan energi ajaib tersebut.
“Terima kasih sudah datang ya!”, demikian kata Nadya ke gw dan semua yang datang. Sebaliknya, kami lah yang harus berterima kasih 🙂
You certainly earn a wave of respect for your post and more specifically, your blog in general. Very high quality storys.
ya, thanks – a very helpful post!
terima kasih kembali 🙂
terima kasih banyak 🙂