Dansa Bandung Philharmonic Orchestra
24 September 2017 1 Komentar
Konser bertema “Dance” tadi malam oleh Bandung Philharmonic Orchestra bener2 membuka mata akan suatu khazanah orkestra yang selama ini ternyata baru gue kenali hanya sebagian kecil aja. Dengan repertoar yang sebenernya cukup standar di antara koleksi rekaman2 orkestra, ternyata masih ada banyak sekali sisi musikal yang masih bisa digarap oleh konduktor Robert Nordling, yang membuat semua karya itu terasa baru sama sekali buat penontonnya, setidaknya bagi gue pribadi.
Orkestra ini bisa terbilang masih sangat muda di kancah musik orkestra Indonesia. Namun keingintahuan gue akan orkestra ini akhirnya terpuaskan setelah perjalanan 3,5 jam ke Bandung untuk jadi saksi mata secara langsung pengalaman musikal yang mereka alami bersama Nordling selama 2 tahun ini.
Musik dan tari memang tak terpisahkan. Tari tanpa musik seakan menjadi kegiatan olahraga, sedangkan musik tanpa tarian menjadi entitas yang tak usai karena memang musik menggerakkan kita yang mendengarnya.
Berbagai jenis musik yang ditulis dengan motivasi mengiringi suatu pertunjukan tari atau terinspirasi bentuk-bentuk tari pergaulan dimainkan malam tadi. Ada suita dari balet “Swan Lake” karya Tchaikovsky yang dimainkan komplit, ada juga cuplikan dari balet “Firebird” karya Stravinsky, “Concerto for Violin and Oboe in C minor, BWV 1060” karya Bach, “Pavane for A Dead Princess” karya Ravel, ada juga “Suvenir dari Minangkabau” karya komponis muda Arya Pugala Kitti pemenang sayembara komposisi Bandung Philharmonic yang malam ini dipentaskan perdana, lalu juga ada “Blue Danube Waltz” yang notabene gak pernah bener2 gue sukai kecuali ketika dimainin tadi malam karena penggarapan yang sangat detil dan sangat menghidupkannya! Tak lupa mereka juga siapkan encore “Hoedown” karya Copland dari balet “Rodeo”.
Sayangnya gue belum sempet nonton proses latihan mereka. Namun dari tariannya, Nordling membuka mata gue bahwa mengaba suatu orkestra dengan efektif dan efisien itu tak sekadar hanya lewat mengkomunikasikan ide musikal secara verbal dengan jelas, namun juga lewat energi dan bahasa tubuh yang tepat.
Ketike gue menemukan bahwa gue bisa menularkan energi itu kepada para musisi, musik yang dihasilkan pun akan sesuai dengan energi yang gue minta dari mereka. Namun masih sulit bagi gue untuk gak ngos-ngosan setelah setiap latihan dan pentas karena gue mengeluarkan energi itu dengan tidak efisien. Dirigen-dirigen terdepan dunia sangat menguasai teknik mereka dan bisa menerapkannya dengan sangat effortless, tak terkecuali Nordling. Gue bisa melihat bahwa setiap ayunan dan gerak-geriknya sangat sederhana namun bisa sangat jelas menunjukkan detil2 yang ia minta dari para musisinya. Nyaris gak ada bedanya dengan Tai Chi. Elegan, dinamis, berwibawa, namun terutama sangat persuasif dan menginspirasi!
Memang tingkat kepercayaan diri dan penguasaan instrumen setiap solisnya belum merata di orkes ini. Hal itu terasa ketika beberapa principal di seksi gesek memainkan solo di beberapa bagian, intonasi dan proyeksi suaranya sudah terasa solo namun belum cukup keluar memenuhi ruangan aula. Untungnya hal itu tidak terjadi di seksi tiup, setiap solo dieksekusi dengan mantap. Di sisi lain ternyata standar yang ditetapkan pada saat audisi telah menyeleksi musisi-musisi yang lebih mengedepankan kemampuan bermain secara ensembel. Terbukti setiap frase yang dibangun bisa bernafas dan berbicara secara kompak kepada penonton.
Solis Lidya Evania dan Arjuna Bagaskara memiliki rekam jejak dan jam terbang yang cukup tinggi di beberapa panggung internasional. Dan lewat permainan mereka di Double Concerto itu, penonton dihipnotis oleh penguasaan mereka yang tak cuma sangat tinggi akan karya Bach itu, tapi juga lewat liukan dan alunan frase mereka yang terkadang elegan, terkadang sangar bisa berdansa satu sama lain dan juga dengan para musisi orkestra yang lainnya. Yuty Lauda pun tak hanya merespon dan menjaga keutuhan tempo namun juga menyatukan permainan kedua solis ini dengan segenap seksi gesek lewat permainan harpsichord-nya.
Ada Rama Widi yang malam ini bukan diundang sebagai solis namun sebagai bagian dari ensembel. Sama seperti setiap instrumen lainnya di orkestra ini tak ada yang luput dari giliran mendapat sorotan, terutama kehadiran Rama pun selalu terasa kuat di setiap petikannya. Hal yang belum cukup umum namun seharusnya bisa dihasilkan oleh setiap pemain harpa orkestra di Indonesia – setidaknya yang sejauh ini sering gue tonton – yang biasanya cukup tertimbun di balik tebalnya bebunyian puluhan musisi lain.
Selain itu pada bassoon dan seksi tiup logam ada beberapa musisi tamu dari Singapura, Thailand dan Belanda yang sangat bisa mengajak rekan-rekannya musisi lokal kita untuk menghasilkan tone simfonik yang memang masih jarang tereksekusi semantap itu di sini. Gue yakin pengalaman bermain orkes dengan mereka yang lebih berpengalaman akan memudahkan kita menguasai bahasa musikal itu untuk kemudian bisa kita tularkan lagi kepada yang lebih junior selanjutnya. Ada harapan yang semakin cerah di kemudian hari bagi perkembangan orkes nasional kini dengan sistem mentoring semacam ini.
Entah sejak kapan Bandung Philharmonic menggunakan instalasi reflektor untuk keperluan proyeksi suara orkestranya di Teater Tertutup Dago Tea House ini. Tapi dengan sangat terbatasnya ketersediaan gedung pertunjukan yang ramah akustik bagi suatu konser orkestra, hal ini menjadi sangat penting bagi mereka supaya energi yang mereka pancarkan bisa lebih efisien tersampaikan kepada penonton, tak terserap terlalu banyak oleh bahan pengedap suara di gedungnya maupun terpantul terlalu banyak di tembok. Salah satu strategi yang sangat manjur mereka terapkan!
Konser ini didukung tak hanya oleh Badan Ekonomi Kreatif Nasional, tapi juga sponsor-sponsor swasta dan pemerintahan serta puluhan donatur pribadi sehingga program orkestra ini bisa terus berjalan dan berkembang. Memang suatu orkestra adalah milik bersama antara para musisi, pihak manajemen dan masyarakatnya sendiri. Semakin maju masyarakatnya, semakin maju pula perkembangan kebudayaannya. Dengan harga tiket yang tidak terlalu murah namun masih sangat terjangkau, ternyata sajian musikal malam ini masih sangat dicari oleh masyarakat Bandung dan sekitarnya yang terus memenuhi kursi penonton hingga akhir konser.
Komplit sudah tarian tadi malam dipertunjukkan sangat menggugah oleh konduktornya, oleh para musisi, juga oleh sinergi yang sangat menginspirasi dari para penyelenggara dan para penontonnya yang sangat apresiatif. Terima kasih dan salut banget kepada publik Bandung yang terus-menerus menciptakan ekosistem yang bisa menghasilkan musisi-musisi top tanah air dari berbagai genre musik!
Gue cuma keluar Rp 150.000 untuk tiket konser ini namun batin gue semakin kaya sepulangnya :’)
Reblogged this on A Musical Promenade and commented:
Refleksi Andreas Arianto akan konser Bandung Philharmonic akhir pekan lalu.