Uber dan Masyarakat Kelas Menengah

Di postingan ini gue nyebut diri gue sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah ngehe, ini istilah yang sering digunakan oleh pengamat sosial dalam konteks obrolan santai, merujuk ke kelompok masyarakat yang punya daya beli yang lumayan tinggi untuk membuat dirinya merasa perlu mengaktualisasikan dirinya lewat gaya hidup yang sebenernya belum tentu bisa dibiayai lewat penghasilan riilnya.

Ya, gue harus akui bahwa gue termasuk dalam kelompok yang seperti ini, yang mengeluh atas masalah-masalah sosial tanpa membuat diri sendiri menjadi bagian dari solusinya, merasa harus ikut mengenakan pakaian tertentu, mencoba makanan tertentu, menonton festival tertentu supaya gak merasa ketinggalan jaman, dan sebagainya.

Masih banyak yang gue sendiri belum cukup lakukan sebagai kontribusi gue terhadap masyarakat. Namun mengakui hal ini adalah awal dari perubahan. Kalau gue bukan bagian dari solusi, berarti gue adalah bagian dari masalah yang gue hadapi sendiri. Semoga gue bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi 🙏

Kaum menengah di Hindia Belanda pula yang pertama menyadari ketimpangan sosial antara kaum bangsawan Nusantara dan VOC (yang notabene punya simbiosis mutualisme) dengan rakyat jelata. Mereka ini bisa mencicipi pendidikan di bangku sekolah sehingga bisa menyadari bahwa sesungguhnya kita bisa berkuasa dalam menentukan nasib kita sendiri. Mereka inilah yang mengawali Pergerakan Nasional dan menyebarkan semangat ini ke lapisan masyarakat yang kurang seberuntung mereka hingga akhirnya terjadi Revolusi Nasional Indonesia.

Tanpa berpikir terlalu muluk, revolusi yang bisa kita usahakan adalah revolusi diri sendiri menjadi manusia yang lebih baik 🙏

Selamat berakhir pekan! 😇

Banda (The Dark Forgotten Trail)

Barusan nonton film Banda, dan gue merasa tercerahkan kenapa bule2 Eropa jadi rakus banget dan saling bunuh demi menguasai rempah-rempah seperti yang sering kita denger di pelajaran Sejarah sejak SD.

Film dokumenter pertama garapan Jay Subyakto ini bener-bener cantik banget secara artistik. Animasi yang digunakan pun sebenernya bukan animasi yang keliatan fancy, tapi sangat efektif digunakan. Sinematografer yang terlibat juga adalah fotografer2 top Indonesia, di antaranya ada Oscar Motuloh, Davy Linggar dan Jay sendiri.

Musiknya digarap Indra Perkasa, yang lagi seneng-senengnya bereksperimen dengan synthesizer, dibantu oleh Jesslyn Juniata dan Ranya Badudu, sangat efektif bikin atmosfer yang adventurous sekaligus getir bagi film ini. Menurut gue kalau mereka pun bisa ikut terlibat dalam pengerjaan sound design-nya, hasil produksi audionya pasti akan lebih nge-blend lagi nih!

Kembali tentang filmnya. Reza Rahadian menarasikan evolusi Kepulauan Banda dengan sangat pas, membawa kita terhanyut dalam dongeng non fiktif, sambil secara bergantian para narasumber menceritakan pengalaman dan pengetahuan mereka. Ada pemilik perkebunan Pala yang menjelaskan pengolahan buah ini, juga bagaimana setiap bagian dari tumbuhan ini bisa dijadikan berbagai produk dari bumbu masakan, bahan kosmetik, hingga obat penenang. Ada juga sejarahwan yang menceritakan seberapa pluralnya elemen masyarakat Banda, hasil dari interaksi perdagangan beragam etnis dan agama sejak abad pertengahan.

Ada hal yang menarik terjadi di abad ke-17. Persaingan Belanda dan Inggris di Kepulauan Banda menumpahkan begitu banyak darah bagi kedua belah pihak, sampai akhirnya Belanda sepakat untuk menyerahkan Pulau Manhattan (di New York) kepada Inggris untuk ditukar dengan Pulau Run yang dipenuhi perkebunan Pala. Jadi Pulau New Amsterdam itu bergantilah namanya menjadi New York seperti yang kita kenal sekarang. ( https://en.m.wikipedia.org/wiki/Run_(island) )


(http://www.tigerblue.info/news-hub/2017/4/18/the-once-again-forgotten-run-island-manhattan-swap)

Fungsi Pala sebagai pengawet organik bagi bahan2 makanan akhirnya mulai surut setelah berkembangnya penggunaan kulkas secara umum di abad ke-19. Demikian pula dengan sakawnya orang-orang Eropa ini akan rempah2. Dan sejak itu pula kepulauan ini makin diabaikan dan VOC mengalihkan fungsi pulau2 ini menjadi tempat pengasingan bagi tahanan-tahanan politik seperti Cipto Mangunkusumo, Hatta, juga Syahrir di antaranya.


(Pulau Pisang kini dikenal dengan nama Pulau Syahrir, sedangkan Pulau Rosengain kini diganti namanya menjadi Pulau Hatta sebagai penghormatan akan kedua pahlawan nasional ini)

Paham kebangsaan para intelektual awal Indonesia ini malah makin menguat di sini, ditambah dengan meletusnya Perang Dunia II, mereka makin bisa memperjuangkan posisi Indonesia hingga akhirnya diakui sebagai negara yang berdikari di tengah pergaulan internasional.

Film ini tak hanya berhenti di sana, masih ada kelanjutan kisah dari miniatur Indonesia ini dalam narasi yang dirangkai sangat indah oleh penulis naskah Irfan Ramli. Gue sangat merekomendasikan film ini buat temen2 yang senang diajak berpikir dan menerjemahkan simbol2 visual.

Film Banda baru mulai tayang 4 Agustus kemarin dan hanya tayang di sejumlah kecil layar lebar XXI. Sayang banget kalau gak sempet nonton karena film dokumenter seperti ini jarang banget tayang di bioskop konvensional seperti XXI dan gue takut kalau penontonnya sedikit, film ini hanya akan tayang sebentar saja.

Membaca dan menonton sejarah adalah usaha memahami ke arah mana kita akan melangkah di depan nanti.

PS: Reza Rahadian membacakan "Cerita Buat Dien Tamaela" karya Chairil Anwar dengan sangat indah di penghujung