Bermimpi tentang Masyarakat Tanpa (Perbedaan) Kelas

Sesungguhnya bukan perbedaan ras, warna kulit, agama ataupun pandangan politik yang memecah masyarakat. Semua itu hanya ilusi yang digunakan sebagai kambing hitam untuk mempertahankan perbedaan kelas sosial. Kenapa? Perbedaan kelas ekonomi dalam masyarakat itu kalau dipertahankan sebagai status quo akan sangat bermanfaat untuk mempertahankan kekuatan ekonomi dan politik pihak-pihak yang lebih kuat, dan mereka akan selalu diuntungkan olehnya.

Dengan dalih alasan yang heroik demi pencitraan yang baik, kelas yang lebih kuat ini akan bisa terus memiliki kekuasaan untuk mengontrol sisa populasi dengan informasi yang mereka bisa batasi untuk nggak tersebar ke kelas yang lebih rendah. Sisanya, tinggal biarkan masyarakat yang gak seberuntung itu untuk saling memakan satu sama lain saja, menganggap satu sama lain sebagai musuh masing2 tanpa menyadari bahwa kita sama2 sedang menjadi bulan2an.

Segala perubahan yang menuju ke arah pemerataan kesejahteraan sebisa mungkin dibendung supaya kekritisan berpikir makin bisa dibatasi untuk melindungi status quo.

Uang tidak pernah mengenal agama maupun pandangan politik. Semua pengusaha besar akan menceburkan kaki di semua kolam, sehingga siapapun pemenang kontes politiknya, diri mereka akan tetap bisa diuntungkan. 

Tinggal tersisa nurani yang akan menentukan seberapa lama si pemimpin ini mau berusaha menjadi pahlawan, apakah dengan masa waktu yang cukup singkat untuk membuat perubahan, atau untuk waktu yang terlalu lama (dengan alasan yang sama: untuk membentuk perubahan) yang akan mengubahnya menjadi penjahat.

Iklan

Tentang Rasisme 2016

Sedih bgt baca kisah2 rasis di UK setelah Brexit dan di US stlh pemilunya. Sosok Trump seakan melegitimasi orang2 yang butuh pengakuan dengan cara merendahkan orang2 yg dianggap “outsider”. Ternyata di abad ke-21 ini hal2 seperti itu masih berlaku bgt dijadikan ukuran banyak orang untuk membuat dirinya merasa lebih baik, lebih pantas, lebih segalanya dibanding yang lain.

Memang sejatinya kita lebih mudah menyalahkan orang lain atas kekurangan2 diri kita sendiri. Ketika kita merasa gak ada yang salah atau kurang dari hidup kita, kita cenderung untuk gak nyari2 kambing hitam di diri orang lain. Tapi ketika kita gak hepi dengan kondisi kita, kita enggan untuk introspeksi dan membuat perubahan2 internal dari kebiasaan2 kita sendiri. Makanya isu2 SARA di mana pun sangat mudah untuk jadi populer, dan setelahnya kita sangat mudah digiring untuk kepentingan2 politik (dan ekonomi) segelintir orang tertentu.

Namun sampai kapan kita mau terus diperalat dan dipecah-belah, kapan kita mau benar2 memegang kendali atas nasib kita sendiri, dan kapan kita bisa bahu-membahu memperbaiki dunia dengan orang2 yang berbeda dengan kita?

Setiap masyarakat akan mendapatkan pemimpin yang pantas baginya, ketika kita hanya diam saat ketidakadilan terjadi, maka sudah sepantasnya kita terus-menerus ditindas oleh pemimpin. Sebaliknya ketika kita sadar akan hak dan kewajiban kita, akan tanggung jawab dan kemampuan memperbaiki nasib diri sendiri, kita akan mendapatkan pemimpin yang sanggup membawa kita ke peradaban yang lebih tinggi.

Ini era informasi, dan inilah saat yang paling tepat bagi setiap manusia untuk berani bersuara dan bertindak lebih bagi kemajuan dirinya sendiri, sebisa mungkin tanpa merendahkan orang lain yang juga berusaha memperbaiki nasibnya. Inilah saat yang terbaik untuk memelihara dialog yang beradab supaya kita makin bisa saling mengerti satu dengan lainnya.

Apakah kita bisa mencapai tahap berikutnya dalam kemanusiaan kita? Itu juga pertanyaan besar bagi diri gue sendiri.
Selamat malam,

Andreas Arianto