Uber dan Masyarakat Kelas Menengah

Di postingan ini gue nyebut diri gue sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah ngehe, ini istilah yang sering digunakan oleh pengamat sosial dalam konteks obrolan santai, merujuk ke kelompok masyarakat yang punya daya beli yang lumayan tinggi untuk membuat dirinya merasa perlu mengaktualisasikan dirinya lewat gaya hidup yang sebenernya belum tentu bisa dibiayai lewat penghasilan riilnya.

Ya, gue harus akui bahwa gue termasuk dalam kelompok yang seperti ini, yang mengeluh atas masalah-masalah sosial tanpa membuat diri sendiri menjadi bagian dari solusinya, merasa harus ikut mengenakan pakaian tertentu, mencoba makanan tertentu, menonton festival tertentu supaya gak merasa ketinggalan jaman, dan sebagainya.

Masih banyak yang gue sendiri belum cukup lakukan sebagai kontribusi gue terhadap masyarakat. Namun mengakui hal ini adalah awal dari perubahan. Kalau gue bukan bagian dari solusi, berarti gue adalah bagian dari masalah yang gue hadapi sendiri. Semoga gue bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi 🙏

Kaum menengah di Hindia Belanda pula yang pertama menyadari ketimpangan sosial antara kaum bangsawan Nusantara dan VOC (yang notabene punya simbiosis mutualisme) dengan rakyat jelata. Mereka ini bisa mencicipi pendidikan di bangku sekolah sehingga bisa menyadari bahwa sesungguhnya kita bisa berkuasa dalam menentukan nasib kita sendiri. Mereka inilah yang mengawali Pergerakan Nasional dan menyebarkan semangat ini ke lapisan masyarakat yang kurang seberuntung mereka hingga akhirnya terjadi Revolusi Nasional Indonesia.

Tanpa berpikir terlalu muluk, revolusi yang bisa kita usahakan adalah revolusi diri sendiri menjadi manusia yang lebih baik 🙏

Selamat berakhir pekan! 😇

Tentang Perempuan

Banyak perempuan yang gue kagumi untuk pencapaiannya, gak hanya mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi ibu rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga itu sendiri adalah pekerjaan yang sangat berat!

Namun juga berat perjuangan perempuan dalam mengembangkan potensinya dalam berbagai bidang. Seringkali dipandang sebelah mata dan dianggap tidak bisa mengerjakan pekerjaannya sebaik laki-laki. Juga tidak jarang kita mendengar penilaian bahwa seorang perempuan yang sukses “cuma” karena ia cantik atau karena campur tangan orang tuanya atau pasangannya dan sebagainya.

Ada standar ganda yang kita gunakan bahkan ketika kita mau mengagumi seseorang, tergantung apakah dia seorang pria atau wanita. Padahal gak peduli pria atau wanita, jumlahnya sama aja yang kompeten ataupun yang gak kompeten, bukan karena jenis kelaminnya tapi karena dedikasi dan usahanya.

Ketika kita membedakan apresiasi bukan berdasarkan prestasi, melainkan hanya berdasarkan hal-hal yang gak bisa kita pilih ketika lahir (=jenis kelamin, suku, agama orang tua, dan sebagainya), maka kita sedang melakukan diskriminasi dalam pikiran.

Dunia abad ke-21 dalam banyak hal memang sudah membawa kemajuan yang lebih baik bagi manusia, termasuk bagi para perempuan. Kita sudah bisa mengapresiasi para perempuan tangguh yang berprestasi dalam berbagai bidang, kita juga sudah mulai bisa mengusahakan lingkungan yang semakin ramah (=aman) bagi wanita. Namun masih banyak sekali tempat di muka bumi ini, termasuk di Indonesia, di mana para perempuan harus merasa takut untuk berjalan sendirian di luar rumah.

Masih banyak sekali orang yang ketimbang memikirkan bagaimana menciptakan keamanan, malah menyalahkan para perempuan yang menjadi korban berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan. Padahal bertindak jahat adalah tetap sebuah kejahatan, tak peduli justifikasi apapun yang mau digunakan untuk “membenarkan” tindakan itu.

Setiap perbuatan diawali dengan pikiran. Ketika masih banyak dari antara kita yang memandang perempuan sebagai objek, bukan sebagai manusia yang memiliki identitasnya sendiri, memiliki cita-citanya sendiri, memiliki kehendak dan keberanian untuk memperjuangkan keinginannya sendiri, maka sulit lah bagi kita untuk bisa mengusahakan sebuah dunia yang lebih baik dan adil bagi perempuan.

Banyak sekali cerita tentang pelecehan seksual yang dialami perempuan-perempuan di sekitar kita, hal-hal yang hampir tidak pernah dialami oleh para lelaki di tempat umum, hal-hal yang tidak kita dengar kalau bukan lewat kesaksian korbannya langsung. Dan kesaksian seperti ini jarang bisa kita dengarkan karena para korban merasa malu untuk bercerita. Seberapa serius kita dalam menanggapi cerita-cerita seperti ini akan menentukan seberapa kita sadar seberapa kurangnya peran kita dalam melindungi sesama manusia.

Seberapa serius kita menanggapi kesaksian-kesaksian dari yang sesimpel mengalami suitan atau ucapan menggoda atau colekan atau gerayangan dari orang-orang tak dikenal di tempat umum, sampai yang lebih parah perkosaan dan pembunuhan, itu akan menentukan seberapa masih kurangnya keadilan dan keamanan kita wujudkan dalam lingkungan sekitar kita.

Lalu kita mau menyalahkan si korban karena pakaiannya “mengundang”? Banyak sekali kasus seperti ini menimpa perempuan yang berpakaian tertutup. Yang juga sama konyolnya adalah beberapa peraturan pemda yang mau mengatur pakaian yang dikenakan perempuan dengan tujuan untuk “melindungi” mereka. Padahal kekerasan seperti ini diawali oleh pikiran misoginistik yang mengakar dan sangat membenci kebebasan wanita.

Sekali lagi, ketika kita sulit untuk berlaku adil dalam pikiran, maka kita pun sulit untuk berlaku adil dalam ucapan dan tindakan. Perjuangan perempuan bukan hanya merupakan tanggung jawab para perempuan. Perjuangan perempuan juga berarti perjuangan untuk kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil dan beradab, dan itu adalah tanggung jawab kita bersama sebagai masyarakat.

Semoga Hari Ibu yang kita peringati hari ini mengingatkan kita untuk terus berusaha berlaku adil dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita terhadap sesama manusia, tanpa memandang jenis kelaminnya, suku, warna kulit, agama, orientasi seksual, cara berpakaian, atau pembeda-pembeda lainnya.

Semoga kita bisa terus menjadi manusia yang semakin baik bagi sesama manusia.

Ibu

Selamat hari Ibu untuk semua keluarga dan teman. Gue yakin persoalan memperingati Hari Ibu bukan hanya memperingati mereka yang bisa melahirkan dan mendidik generasi selanjutnya, tapi juga persoalan tentang bagaimana kita mengusahakan sebuah dunia yang semakin baik bagi kaum perempuan, tak peduli apakah mereka memutuskan untuk memiliki keturunan atau tidak.

Gue tumbuh dididik oleh seorang Ibu yang berpendirian kuat, terutama kalau menyangkut masa depan anak2nya. Beliau selalu ingin yang terbaik bagi anak2nya, dan gak jarang ingin anak2nya menjadi yang terbaik di bidangnya. Memang tak terelakkan percekcokan terjadi antara dua generasi yang berbeda cara pandang akan kehidupan. Yang generasinya sama juga banyak berbenturan pendapat akan cara hidup yang berbeda, apalagi yang beda generasi bukan?

Namun selalu ada satu hal yang akan selalu bisa menjadi perekat dari perbedaan kami. Ibu adalah orang pertama yang mendoakan hal-hal terbaik bagi gue. Keterbatasan penguasaan bahasa verbal dan tingginya gengsi seringkali menghasilkan semacam tembok semu yang menyulitkan kami untuk memahami betapa masing-masing pihak itu peduli dan sayang satu sama lain.

Sekarang sudah lewat 2 tahun sejak berpulangnya Ibu. Dan ketika gue ikut proses syuting iklan ini, susah diungkapkan lewat kata seberapa gue menahan rindu. Memang rindu baru lebih terasa perih di kala kita kehilangan. Namun kini rindu yang sama hanya terasa manis ketika ingatan yang tinggal adalah tentang seberapa bahagianya Ibu untuk seluruh doanya yang telah terjawab bagi anak-anaknya.

Terima kasih kepada seluruh Ibu yang selalu memperjuangkan yang terbaik bagi anak-anaknya, entah disadari oleh sang anak maupun tidak.

(Iklan ini diproduksi oleh Anatman Pictures, disutradarai oleh Mahatma Putra, dengan lagu ditulis oleh S. M. Mochtar, diaransemen oleh Aria Prayogi dan Andreas Arianto)