Bali Journey 1

Selalu menyenangkan main musik bareng Rio Herwindo dan Stella Paulina, apalagi sekarang mereka bikin Celtic Room Bali dan makin berkembang dgn chemistry antar musisi yang kerasa seger banget! Gue dan Andika Candra tadi ikutan mampir gabung sesi latihan terbuka yang sering mereka adain tiap minggu di tempat yang berbeda2.

Grup musik berbasis komunitas seperti yang juga mereka bentuk seperti di Celtic Room Jakarta ini memang punya keunikannya sendiri. Gak seperti grup musik ensembel atau band pada umumnya, dengan konsep seperti ini sebenernya mereka memberi secara langsung kepada masyarakat sekitarnya, entah mereka jadi bisa langsung ikut nikmati aja atau juga secara aktif ikut main musik2 Irlandia.

Bali sebagai jendela Indonesia terhadap komunitas internasional memang memudahkan musisi seperti mereka ini untuk gak hanya mendapat apresiasi yang lebih besar daripada di Jakarta, tapi juga untuk berkembang secara musik maupun secara kultural. Ada beberapa musisi non lokal yang juga rutin ikut latihan dan tampil bareng mereka, salah satunya teman baru gue, Margaret Denmead dari Irlandia yang ikut main gitar, bernyanyi, juga bermain Bodhran.

Pertukaran budaya dan informasi sangat mudah terjadi di Bali, terutama karena lewat musik bisa terjalin perkenalan dan pertemanan yang lebih menyenangkan dengan orang-orang baru.

2 minggu di sini, setiap hari dipenuhi dengan musik. Ditambah dengan langit biru dan alam yang terasa sangat dekat dengan keseharian, gue bisa bilang bahwa musik lebih bisa dinikmati di sini.

Masih ada seminggu lagi untuk dinikmati, semoga gue bisa meneruskan segala energi positif yang telah gue terima dari setiap perjumpaan dengan alam dan dengan teman-teman di sini. Semoga gue bisa terus memelihara kedamaian dalam diri lewat memberikan diri gue terhadap sekitar.

Bahasa dan Pikiran

Ada lumayan banyak orang yg “gak ekspresif secara verbal”. Gue lumayan yakin bahwa ini cuma masalah kemauan membiasakan diri berekspresi lewat bahasa.

Dulu gue jg termasuk orang yg canggung dan bingung ngobrol sama orang yg baru dikenal. Tapi ada kaitan yg erat antara penguasaan bahasa tubuh dengan penguasaan bahasa verbal, dan karena itulah sebenernya pelajaran bahasa (terutama kalo buat kita itu pelajaran Bahasa Indonesia) seharusnya punya bobot yang tinggi di pelajaran sekolah. Ini menentukan gimana anak2 dilatih untuk berkomunikasi, dilatih untuk merangkai apapun yang ada di pikirannya untuk bisa diterjemahkan dengan baik oleh orang lain. Setelah terlatih, ia akan memiliki rasa percaya diri, bahwa dirinya bisa berkomunikasi dan berkontribusi terhadap masyarakatnya.

Pikiran adalah sesuatu yang abstrak, dan ternyata abstraksi berpikir ini gak secara umum dikuasai semua orang. Untungnya lumayan banyak musisi yang bisa menguasai hal ini, dan biasanya yang bisa mewujudkan sesuatu yg abstrak (misalnya ide komponis yg tertuang dalam partitur) menjadi musik (=bunyi-bunyian yg teratur) adalah yang berhasil mengkomunikasikannya kepada penonton yang akan terlibat secara emosional dan intelektual.

Itu sebabnya seni memiliki posisi yang penting dalam perkembangan peradaban manusia. Seni memiliki banyak aspek yang abstrak maupun yg konkrit.

Maka dari itu ketika kini bermunculan elemen masyarakat yg kurang bisa menangkap metafora dan simbol2 dari seni, itu bisa berakibat buruk bagi perkembangan masyarakatnya. Kenapa? Karena ini memungkinkan pemikiran2 yang “judgmental” bisa tumbuh subur, bukannya rasa penasaran yg apresiatif terhadap sesuatu yg belum kita mengerti.

Peran setiap anggota masyarakat adalah berusaha memberi kontribusi terbaiknya bagi perkembangan masyarakatnya. Hanya dengan kesadaran seperti inilah masyarakat bisa berkembang. Masing2 dari kita bisa ikut punya andil, gak peduli sekecil apapun itu. Dan semua yang kita lakukan pasti berawal dari pikiran. Pikiran yang terbuka akan memampukan setiap orang untuk melakukan hal2 yang semakin besar pula dampaknya bagi lingkungan.

You are what you eat. Dan ini ternyata berlaku pula terhadap apapun yang kita masukkan ke dalam pikiran kita 🙂

Mari kita tutup dengan kutipan Cak Lontong:

Rest in Peace Jhonneysep Singarimbun

Jhonneysep adalah salah satu pemain klarinet terbaik Indonesia di generasi produktif saat ini. Ia baru saja menuntaskan perjuangan 29 tahun hidupnya kemarin Senin, 21 November 2017.

Menjadi musisi orkestra memang penuh dengan kegembiraan dan kepuasan yang tinggi setelah setiap konser, namun juga dituntut persiapan latihan bertahun-tahun untuk membentuk musikalitas di pikiran dan keterampilan jemari dan tubuh untuk menguasai instrumennya. Selain itu kini tuntutan standarisasi musisi orkestra makin membentuk kompetisi yang semakin tinggi pula demi posisi pemain yang lebih luwes dalam menguasai bahasa-bahasa musik yang berbeda, juga demi posisi principal per seksi instrumen yang membutuhkan porsi tanggung jawab dan kemampuan bekerjasama yang baik dengan musisi-musisi lainnya dalam sebuah orkestra.

Kini setidaknya ada 4 orkestra di Jakarta yang mengkhususkan diri memainkan musik klasik, dan ada kebutuhan yang semakin tinggi bagi musisi-musisi orkestra yang baru karena dalam banyak kesempatan, terutama di bulan November dan Desember, 4 orkestra ini harus saling berebut musisi-musisi terbaik karena memang belum banyak tersedia cukup banyak pemain di Jakarta.

Ada beberapa sekolah musik yang terus mencetak pemain orkestra, namun memang belum berlaku standarisasi yang merata bagi sekolah-sekolah yang berbeda ini. Untungnya orkestra-orkestra yang ada telah membentuk standar ini, yang tentunya harus diikuti oleh para pemusik yang baru ikut bergabung kemudian, entah melalui rekomendasi maupun proses audisi.

Dibutuhkan kepekaan dan musikalitas yang tinggi untuk bisa mengikuti standarisasi ini, dan Jhonneysep adalah salah satu pemain seksi tiup kayu yang sangat mampu beradaptasi dengan budaya kerja yang berbeda-beda antar orkestra, juga terbiasa untuk memfokuskan musikalitas dan keterampilannya untuk bermain maksimal.

Selain itu ia pun juga selama 2 tahun belakangan ini sedang meneliti dan mengembangkan produksi reed untuk klarinet, oboe dan saksofon dengan bahan baku tumbuhan semacam bambu yang tumbuh di kota asalnya, Pacitan. Penelitiannya sudah setengah jalan menuju diproduksinya reed lokal buatan anak negeri. Semoga ada yang bisa meneruskan perjuangan Jhonneysep di kemudian hari.

Terima kasih Jon, musikmu akan terus berkumandang!

Dansa Bandung Philharmonic Orchestra

Konser bertema “Dance” tadi malam oleh Bandung Philharmonic Orchestra bener2 membuka mata akan suatu khazanah orkestra yang selama ini ternyata baru gue kenali hanya sebagian kecil aja. Dengan repertoar yang sebenernya cukup standar di antara koleksi rekaman2 orkestra, ternyata masih ada banyak sekali sisi musikal yang masih bisa digarap oleh konduktor Robert Nordling, yang membuat semua karya itu terasa baru sama sekali buat penontonnya, setidaknya bagi gue pribadi.

Orkestra ini bisa terbilang masih sangat muda di kancah musik orkestra Indonesia. Namun keingintahuan gue akan orkestra ini akhirnya terpuaskan setelah perjalanan 3,5 jam ke Bandung untuk jadi saksi mata secara langsung pengalaman musikal yang mereka alami bersama Nordling selama 2 tahun ini.

Musik dan tari memang tak terpisahkan. Tari tanpa musik seakan menjadi kegiatan olahraga, sedangkan musik tanpa tarian menjadi entitas yang tak usai karena memang musik menggerakkan kita yang mendengarnya.

Berbagai jenis musik yang ditulis dengan motivasi mengiringi suatu pertunjukan tari atau terinspirasi bentuk-bentuk tari pergaulan dimainkan malam tadi. Ada suita dari balet “Swan Lake” karya Tchaikovsky yang dimainkan komplit, ada juga cuplikan dari balet “Firebird” karya Stravinsky, “Concerto for Violin and Oboe in C minor, BWV 1060” karya Bach, “Pavane for A Dead Princess” karya Ravel, ada juga “Suvenir dari Minangkabau” karya komponis muda Arya Pugala Kitti pemenang sayembara komposisi Bandung Philharmonic yang malam ini dipentaskan perdana, lalu juga ada “Blue Danube Waltz” yang notabene gak pernah bener2 gue sukai kecuali ketika dimainin tadi malam karena penggarapan yang sangat detil dan sangat menghidupkannya! Tak lupa mereka juga siapkan encore “Hoedown” karya Copland dari balet “Rodeo”.

Sayangnya gue belum sempet nonton proses latihan mereka. Namun dari tariannya, Nordling membuka mata gue bahwa mengaba suatu orkestra dengan efektif dan efisien itu tak sekadar hanya lewat mengkomunikasikan ide musikal secara verbal dengan jelas, namun juga lewat energi dan bahasa tubuh yang tepat.

Ketike gue menemukan bahwa gue bisa menularkan energi itu kepada para musisi, musik yang dihasilkan pun akan sesuai dengan energi yang gue minta dari mereka. Namun masih sulit bagi gue untuk gak ngos-ngosan setelah setiap latihan dan pentas karena gue mengeluarkan energi itu dengan tidak efisien. Dirigen-dirigen terdepan dunia sangat menguasai teknik mereka dan bisa menerapkannya dengan sangat effortless, tak terkecuali Nordling. Gue bisa melihat bahwa setiap ayunan dan gerak-geriknya sangat sederhana namun bisa sangat jelas menunjukkan detil2 yang ia minta dari para musisinya. Nyaris gak ada bedanya dengan Tai Chi. Elegan, dinamis, berwibawa, namun terutama sangat persuasif dan menginspirasi!

Memang tingkat kepercayaan diri dan penguasaan instrumen setiap solisnya belum merata di orkes ini. Hal itu terasa ketika beberapa principal di seksi gesek memainkan solo di beberapa bagian, intonasi dan proyeksi suaranya sudah terasa solo namun belum cukup keluar memenuhi ruangan aula. Untungnya hal itu tidak terjadi di seksi tiup, setiap solo dieksekusi dengan mantap. Di sisi lain ternyata standar yang ditetapkan pada saat audisi telah menyeleksi musisi-musisi yang lebih mengedepankan kemampuan bermain secara ensembel. Terbukti setiap frase yang dibangun bisa bernafas dan berbicara secara kompak kepada penonton.

Solis Lidya Evania dan Arjuna Bagaskara memiliki rekam jejak dan jam terbang yang cukup tinggi di beberapa panggung internasional. Dan lewat permainan mereka di Double Concerto itu, penonton dihipnotis oleh penguasaan mereka yang tak cuma sangat tinggi akan karya Bach itu, tapi juga lewat liukan dan alunan frase mereka yang terkadang elegan, terkadang sangar bisa berdansa satu sama lain dan juga dengan para musisi orkestra yang lainnya. Yuty Lauda pun tak hanya merespon dan menjaga keutuhan tempo namun juga menyatukan permainan kedua solis ini dengan segenap seksi gesek lewat permainan harpsichord-nya.

Ada Rama Widi yang malam ini bukan diundang sebagai solis namun sebagai bagian dari ensembel. Sama seperti setiap instrumen lainnya di orkestra ini tak ada yang luput dari giliran mendapat sorotan, terutama kehadiran Rama pun selalu terasa kuat di setiap petikannya. Hal yang belum cukup umum namun seharusnya bisa dihasilkan oleh setiap pemain harpa orkestra di Indonesia – setidaknya yang sejauh ini sering gue tonton – yang biasanya cukup tertimbun di balik tebalnya bebunyian puluhan musisi lain.

Selain itu pada bassoon dan seksi tiup logam ada beberapa musisi tamu dari Singapura, Thailand dan Belanda yang sangat bisa mengajak rekan-rekannya musisi lokal kita untuk menghasilkan tone simfonik yang memang masih jarang tereksekusi semantap itu di sini. Gue yakin pengalaman bermain orkes dengan mereka yang lebih berpengalaman akan memudahkan kita menguasai bahasa musikal itu untuk kemudian bisa kita tularkan lagi kepada yang lebih junior selanjutnya. Ada harapan yang semakin cerah di kemudian hari bagi perkembangan orkes nasional kini dengan sistem mentoring semacam ini.

Entah sejak kapan Bandung Philharmonic menggunakan instalasi reflektor untuk keperluan proyeksi suara orkestranya di Teater Tertutup Dago Tea House ini. Tapi dengan sangat terbatasnya ketersediaan gedung pertunjukan yang ramah akustik bagi suatu konser orkestra, hal ini menjadi sangat penting bagi mereka supaya energi yang mereka pancarkan bisa lebih efisien tersampaikan kepada penonton, tak terserap terlalu banyak oleh bahan pengedap suara di gedungnya maupun terpantul terlalu banyak di tembok. Salah satu strategi yang sangat manjur mereka terapkan!

Konser ini didukung tak hanya oleh Badan Ekonomi Kreatif Nasional, tapi juga sponsor-sponsor swasta dan pemerintahan serta puluhan donatur pribadi sehingga program orkestra ini bisa terus berjalan dan berkembang. Memang suatu orkestra adalah milik bersama antara para musisi, pihak manajemen dan masyarakatnya sendiri. Semakin maju masyarakatnya, semakin maju pula perkembangan kebudayaannya. Dengan harga tiket yang tidak terlalu murah namun masih sangat terjangkau, ternyata sajian musikal malam ini masih sangat dicari oleh masyarakat Bandung dan sekitarnya yang terus memenuhi kursi penonton hingga akhir konser.

Komplit sudah tarian tadi malam dipertunjukkan sangat menggugah oleh konduktornya, oleh para musisi, juga oleh sinergi yang sangat menginspirasi dari para penyelenggara dan para penontonnya yang sangat apresiatif. Terima kasih dan salut banget kepada publik Bandung yang terus-menerus menciptakan ekosistem yang bisa menghasilkan musisi-musisi top tanah air dari berbagai genre musik!

Gue cuma keluar Rp 150.000 untuk tiket konser ini namun batin gue semakin kaya sepulangnya :’)

Celtic Room, the Happiness Room

Hari ini Forteboy Music bikin kolaborasi yang bener2 bikin hepi banget bareng Celtic Room. Mereka itu suatu grup musik yang sangat unik, gak cuma jenis musiknya dan alat2 musiknya yang dimainin, tapi anggotanya bisa siapa aja karena mereka ini berbasis komunitas. Sangat inklusif dan siapapun yang tertarik ikut main tinggal dateng aja bawa instrumennya.

Celtic Room ini dimotori oleh Rio Herwindo. Dia ini pemain biola yang gue kenal uda hampir 1 dekade, dan selama sekitar 5-6 tahun belakangan ini dia mendalami musik India dan Irlandia dengan biolanya. Cengkok2 dan nafas musik rakyat di dua budaya ini uda dia selami dengan serius dan dia sendiri uda bikin lumayan banyak komposisi baru dengan gaya musik yang eklektik, terinspirasi warna-warna budaya yang beragam!

Nah, spirit seperti itu yang nular ke komunitas temen2nya, terutama di Celtic Room. Hampir semua anggota inti Celtic Room ini bisa main lebih dari 2 alat musik! Semuanya alat akustik dan mereka bisa main di mana pun, termasuk kalo gak ada sound system, namun tetap selalu meninggalkan senyuman di pendengarnya!

Kebahagiaan dan ketulusan mereka bener2 tersalurkan tanpa filter ke penonton maupun ke semua pemain yang ikut ngejam sama mereka. Ini yang bikin mereka ini sangat spesial. Dan akibatnya, mereka memiliki gravitasi yang sangat kuat untuk menarik semakin banyak lagi teman2 baru dan musisi2 yang sama-sama punya ketertarikan akan percampuran budaya seperti yang mereka lakukan dalam musiknya.

Pada akhirnya, apa yang mereka lakukan dan bagikan adalah hal utama yang membuat kita suka musik: kebahagiaan. Kita pengen dengerin dan nonton pertunjukan musik karena kita pengen merasakan kebahagiaan itu. Kita seneng liat orang yang main musik, ya karena itu bikin kita seneng. Kita jadi penasaran dan pengen nyoba main alat musik karena kita pengen rasain kesenangannya. Kita enjoy sesuatu karena sesuatu itu bikin kita joyful. Sesederhana itu 😊

Gue selalu nambah temen baru setiap kali gue dateng ke pertunjukan musik mereka, baik yang profesinya memang musisi maupun musisi hobi, semuanya passionate banget akan musik! Lewat Rio, gue jadi kenal Stella, pemain piano, concertina (semacam akordeon kecil dari Inggris), bodhran (perkusi Irlandia), yang sekaligus ahli angklung(!). Lalu ada lagi Dedi yang main biola, viola, cello, juga tin whistle (suling Irlandia yg dimainin Andrea Corr itu loh). Ada Kahfi yang jago buanget main tabla (perkusi India) di jenis musik apapun. Ada Rivelino, penggila Radiohead yang asik banget main akordeon dan Uillean Pipes (semacam bagpipe dari Irlandia), dia juga seorang komposer yang juga entah mainin berapa banyak instrumen lainnya lagi. Ada Patrick, Billy, Cesar, Mas Arief yang sering main gitar dan banjo bareng mereka. Ada Bang Markus seorang etnomusikolog yang bisa mainin puluhan sampai ratusan alat tiup dari penjuru2 Nusantara juga Cina dan Indian Amerika, pada saat bersamaan dia juga ngulik banget alat petik Batak dan Kalimantan.

Kembali ke kolaborasi sore tadi dengan mereka. Gue selalu memendam keinginan untuk ajak mereka main salah satu lagu yang gue tulis, judulnya "Home is Where the Heart is". Dan impian ini terwujud tadi sore. Lagu ini terinspirasi banget oleh musik Irlandia, terutama gue tulis sepulang dari nonton The Hobbits episode 1, di mana para Dwarves nyanyi lagu "Far Over the Misty Mountains" di adegan penutupnya. Lagu ini udah pernah gue rekam dgn versi instrumental (ada di http://bit.ly/2vNU6X9), juga versi dengan vokal, yang liriknya gue tulis bareng Boy Marpaung dan Clarasia Kiky (belum gue publikasi di mana2 hehe). Asik banget gabungin string section dengan akordeon, suling Batak, Bodhran dan Tabla yang mereka mainin, lalu amat sangat dipercantik oleh merdunya nyanyian Marini Nainggolan yang sangat jernih!

Beberapa tahun lalu Rio sempat merekam lagu instrumentalnya yang berjudul "Song for V" di studio lama gue di Kelapa Gading. Saat itulah gue ketemu dengan Kahfi dan tablanya, dan saat itu Rio main biola dan mandolin di lagunya yang kental dengan warna musik India itu. Gue pikir, asik banget kalau gue bisa garap aransemen untuk lagu ini. Ternyata Rio punya lagu lain yang lebih cocok berdampingan dengan lagu Home tadi, yaitu "All You Need is Love" yang sangat syahdu. Dia tunjukin lagunya dan gue seketika langsung jatuh cinta! Semua temen yang gue tunjukin lagu ini pun juga sekali denger langsung suka banget sama lagu ini!

Akibatnya, gak sulit sama sekali buat gue nyari ide aransemennya. Lagu ini bener2 langsung memancing inspirasi ketika gue nulis not demi not dalam aransemennya. Gue tambahin bagian2 yang bisa makin mengentalkan warna Indianya, tapi sekaligus gue bisa kepikir harmoni, counter-melody dan ritme2 yang bisa makin ngeluarin sisi syahdunya lagu ini.

Gue hepi banget karena Dika Chasmala dan Billy Aryo pun juga mau ikut main di string section rekaman hari ini, karena gue jadi tau bahwa gue bisa kasi mereka aransemen yang lumayan menantang tanpa ada kekuatiran apapun 😁

Lalu sebagai penutup, gue ngajak temen2 Celtic Room untuk ngejam bareng lagu folk Irlandia. Rio pilih lagu "Party on Third Class", yang muncul di film Titanic (Leo diCaprio masih semuda Justin Bieber!). Nah, di sesi yang terakhir inilah semua musisi main dengan sangat lepas, termasuk temen2 Celtic Room yang sering ngejam bareng mereka (yang belum ikutan main di 2 lagu sebelumnya tadi). Bener2 kerasa enjoyment dalam bermusik bareng mereka ini, gak ada judgement, gak ada asumsi, gak ada eksklusivitas, semua emosi yang terbentuk hanyalah JOY!

Akhirnya semua pulang dengan membawa senyum bahagia dan kerut sisa tawa lepas, sambil kami menyampaikan sampai jumpa kembali kepada Rio dan Stella, dengan segala harap akan kebahagiaan bagi mereka di Bali nanti.

Tenkyu berats juga buat Aria Prayogi yang uda jadi juru rekam audio dan sekaligus ikut main sitar elektrik di lagu "All You Need is Love", juga Abrian yang mengabadikan momen spesial bersama Celtic Room tadi sore di kantor Anatman Pictures!

Video akan dirilis di Youtube channel Forteboy Music segera! (Nunggu giliran video2 lain yang uda kami rekam bulan lalu dulu yaa 😁)

Ada Apa Dengan Film Ini?

Ini kayak gabungan AADC sama 3 Hari untuk Selamanya, dicampur sama seri Before Sunrise-Sunset-Midnight karya Richard Linklater yg ngedepanin percakapan antara dua tokoh utama utk ngebangun chemistry sekaligus gulirin alur plotnya. Gue gak punya ekspektasi apa2 sblm ntn film ini, jd gue gak kecewa ahaha. 

Adinia Wirasti tetap yg paling bersinar di mata gue 😍 Pengkarakteran keempat cewe ini kuat bgt, bahkan sampe tetep dibawa ketika mereka masing2 main di film2 lain ya 😜

Musiknya Anto Hoed itu sedapp bgt, dari jaman dulu adukan sound2 yg dia pilih utk synth, drum loops, sound gitar, sound drum dan jg orkesnya cakepp. Apalagi ditambah pukulan drum Aksan yg sound signature snarenya selalu rendah pitchnya (kemudian banyak diadaptasi oleh drummer2 angkatan selanjutnya spt Rayendra en Marco Steffiano dgn signaturenya masing2) bikin musik di film ini sedap bgt dan sukses membuyarkan imej di kepala gue akan lagu2 Melly yg formulanya itu2 aja di film2 antara AADC pertama dan AADC 2 ini. Masih ada pemilihan lirik doi yg gengges sih di lagu barunya di film ini, tp yauda lah yaa 😋 Jadi ga sabar dgn karya Potret yg baru2 lagi dgn formasi baru ini setelah lagu Gimana Caranya.

Gue jd sedikit optimis bahwa tren bikin film yg punya semangat indie akan bangkit lagi setelah munculnya AADC 2 ini, jaman2 Janji Joni, Quickie Express, Rumah Ketujuh, yg mbahas topik2 yg gak terlalu standar, dgn soundtrack2 yg juga dgn sendirinya harus gak terlalu standar bunyinya. 

Tapi apa juga sih yg disebut standar? Toh pada akhirnya memang film2 yg berhasil jd penanda suatu generasi memang gak selalu bisa ditiru oleh sineas2 lainnya, bahkan belum tentu si sineas yg bersangkutan bs mengulangi kesuksesan sebelumnya juga. Setidaknya semoga pembahasan2 segar yg gak sekadar retoris bisa makin subur bertumbuh en nular di generasi purnama selanjutnya dgn kreatifitas masing2 yaks 😇😇😇

Kudos!

Masa Depan Industri Musik Sudah Berjalan (Selama Beberapa Tahun)

  
Tabel di atas adalah gambaran mengenai peningkatan porsi penghasilan industri musik Amrik dari layanan music streaming meningkat 23% dalam waktu 6 bulan, dan skrg penghasilan dari streaming itu gak bisa dipandang sebelah mata lagi. 

Hasil dari penjualan fisik (misal cd) dan penjualan online (misal iTunes) pun juga masih menjadi sumber yg utama, dengan penghasilan dari sync licensing (misal lagu seorang artis digunakan utk kepentingan film/iklan/sejenisnya) dan penghasilan dari ringtone/ringbacktone masih bertahan jadi sumber alternatif. 

Silakan simak artikel ini: http://blog.discmakers.com/2016/01/music-streaming-2016-current-streaming-landscape/

Jadi kalau memang target pasarnya bukan lagi end usernya langsung (baca: fansnya), setidaknya ada banyak sekali pihak yg membutuhkan musik dalam menjalankan bisnisnya, dan di era teknologi skrg, keberadaan mereka2 inilah yg lbh gampang diukur lewat analisa data, utk kemudian diterjemahkan menjadi uang atau kemungkinan monetisasi lainnya. 

Perusahaan IT seperti Gojek bisa bernilai triliunan rupiah, utamanya bukan dari transaksi pelanggan, tapi dari bagaimana mereka mengolah data yg dikumpulkannya. 

Now is the future 😇

Menengok Musik dari Seberang Lautan

OPM itu singkatan dari Original Philippines Music, sebutan mereka untuk musik karya anak negeri mereka. ABS-CBN adalah jaringan televisi nasional pertama di Asia Tenggara (mengudara sejak 1953) dan mereka membentuk orkestra pops ini sejak 2012 dengan Gerard Salonga (kakak dari vokalis Filipina kelas internasional, Lea Salonga) sebagai konduktor dan pengarah musiknya. 
  
Album debut mereka ini berisi kumpulan lagu pop Filipina dari beragam era, dan menunjukkan kelas mereka sebagai salah satu orkestra pops terbaik di negerinya. Selama di sana pun gue terkesima banget oleh kualitas pemain brass section-nya yang bener2 nampol, bahkan waktu jalan2 ke salah satu mall ada brass band keliling mall dan main lagu2 macem Uptown Funk, Payphone dsb dengan sound yang penuh bgt tanpa mic dan tanpa partitur(!)

Lagu2 di album ini diaransemen oleh beberapa arranger top Filipina, termasuk konduktor Gerard Salonga sendiri. Bagi gue, penyanyi2 Filipina itu kuat banget baik dari segi teknik maupun warna suara dan ekspresinya. Eksistensi Lea Salonga di banyak pentas Broadway dan di beberapa produksi animasi Disney ternyata memungkinkan karakter penyanyi2 lirikal seperti ini yang banyak bermunculan di Filipina. 

Sayangnya gue mengharapkan lebih banyak lagu bertempo sedang dan cepat dalam album ini, tapi kebanyakan lagu ballad yang dipilih oleh “Kuya” Gerard selaku produser albumnya. 

Ini tantangan untuk para pelaku orkestra di Indonesia untuk bisa menghasilkan rekaman yang berada di standar internasional tanpa harus melulu bergantung pada orkestra impor, dan gue percaya kita sedang menuju sana. 

Manila itu sama sekali bukan kota yang lebih rapi dari Jakarta, justru agak sebaliknya. Masa iya kita mau kalah sama mereka dalam bidang kultural? 🙂