Bahasa dan Pikiran – 2

Kembali ke pentingnya pelajaran Bahasa, ketika kita terbiasa menata pikiran menjadi kalimat yang sistematis, maka barulah komunikasi yang baik lebih mungkin terjadi. Tanpa komunikasi yang baik lewat bahasa, sangat mudah bagi kita untuk berkomunikasi lewat kekerasan. Kita melakukan kekerasan karena merasa diri gak dimengerti orang lain, lalu memaksakan kehendak lewat media yang melanggar hak orang lain.

Menurut gue perbedaan pendapat di media sosial adalah hal yang biasa, bahkan harus terjadi sebagai wujud dari kebebasan berpendapat. Semua orang ingin didengarkan. Namun di saat kita mulai mau mendengarkan, baru di saat itulah kita bisa belajar akan hal2 baru.

Sebenernya ada banyak yang mau ngobrolin penegakan hukum, termasuk yg mau gak mau akhirnya nyerempet soal agama. Menurut gue segala hal boleh dipertanyakan ketimbang semua2 dipendam dan nunggu meledak. Sayangnya banyak dari kita yg gak mendem2 pun terlalu siap meledak ketika ketemu pertanyaan atau pemikiran yang kita gak mau dengar.

Gak mau dengar atau gak mau tau adalah suatu hak, tapi bertanya juga adalah hak. Kita punya banyak sekali hak sebagai manusia yang boleh dikejar dan diupayakan, selama kita gak merampas hak orang lain yang pasti akan beririsan pula dengan kepentingan kita.

Perbedaan bukanlah sesuatu yang bisa dianulir atau dianggap gak ada. Kita tetap bisa saling membantu dan saling menjaga kehidupan dengan orang2 yg berseberangan paham dengan kita. Tapi ketika kita merasa lebih berhak atas keistimewaan ini itu (misalnya karena merasa lebih senior atau lebih spesial lainnya) dan menganggap orang lain gak berhak atas hal yang sama yang kita nikmati, kita udah gak menganggap diri kita sebagai sesama dari manusia lainnya.

Mari kita menjadi manusia yang berbahasa 🙏

Bahasa dan Pikiran

Ada lumayan banyak orang yg “gak ekspresif secara verbal”. Gue lumayan yakin bahwa ini cuma masalah kemauan membiasakan diri berekspresi lewat bahasa.

Dulu gue jg termasuk orang yg canggung dan bingung ngobrol sama orang yg baru dikenal. Tapi ada kaitan yg erat antara penguasaan bahasa tubuh dengan penguasaan bahasa verbal, dan karena itulah sebenernya pelajaran bahasa (terutama kalo buat kita itu pelajaran Bahasa Indonesia) seharusnya punya bobot yang tinggi di pelajaran sekolah. Ini menentukan gimana anak2 dilatih untuk berkomunikasi, dilatih untuk merangkai apapun yang ada di pikirannya untuk bisa diterjemahkan dengan baik oleh orang lain. Setelah terlatih, ia akan memiliki rasa percaya diri, bahwa dirinya bisa berkomunikasi dan berkontribusi terhadap masyarakatnya.

Pikiran adalah sesuatu yang abstrak, dan ternyata abstraksi berpikir ini gak secara umum dikuasai semua orang. Untungnya lumayan banyak musisi yang bisa menguasai hal ini, dan biasanya yang bisa mewujudkan sesuatu yg abstrak (misalnya ide komponis yg tertuang dalam partitur) menjadi musik (=bunyi-bunyian yg teratur) adalah yang berhasil mengkomunikasikannya kepada penonton yang akan terlibat secara emosional dan intelektual.

Itu sebabnya seni memiliki posisi yang penting dalam perkembangan peradaban manusia. Seni memiliki banyak aspek yang abstrak maupun yg konkrit.

Maka dari itu ketika kini bermunculan elemen masyarakat yg kurang bisa menangkap metafora dan simbol2 dari seni, itu bisa berakibat buruk bagi perkembangan masyarakatnya. Kenapa? Karena ini memungkinkan pemikiran2 yang “judgmental” bisa tumbuh subur, bukannya rasa penasaran yg apresiatif terhadap sesuatu yg belum kita mengerti.

Peran setiap anggota masyarakat adalah berusaha memberi kontribusi terbaiknya bagi perkembangan masyarakatnya. Hanya dengan kesadaran seperti inilah masyarakat bisa berkembang. Masing2 dari kita bisa ikut punya andil, gak peduli sekecil apapun itu. Dan semua yang kita lakukan pasti berawal dari pikiran. Pikiran yang terbuka akan memampukan setiap orang untuk melakukan hal2 yang semakin besar pula dampaknya bagi lingkungan.

You are what you eat. Dan ini ternyata berlaku pula terhadap apapun yang kita masukkan ke dalam pikiran kita 🙂

Mari kita tutup dengan kutipan Cak Lontong:

Menghormati Identitas

Identitas adalah sesuatu yang bisa kita pilih, jadi sangat konyol ketika kita mempermasalahkan tentang sesuatu yang sifatnya bawaan lahir, seperti ras (dan seringkali juga agama).

Kita semua lahir dengan telanjang, lalu diajari bagaimana berpakaian, lalu pada suatu titik kita belajar untuk memilih pakaian kita sendiri. Apa ada orang yang mau dipaksa telanjang oleh orang lain?

Juga konyol ketika kita menyalahkan orang lain yang tidak berpakaian sama seperti kita, karena mereka memiliki alasannya sendiri ketika memilih pakaiannya. Memberi masukan mengenai gaya berpakaian adalah hal yang berbeda, kita tetap menyerahkan hak untuk memilih itu kepada yang kita berikan saran, bukan memukulnya kalau nggak mau nurut.

Cara kita berpakaian biasanya memang mencerminkan cara pandang kita terhadap diri sendiri di antara orang-orang lain di sekitar kita. Ada yang suka untuk tampil beda, ada juga yang berusaha untuk tampil serupa dengan kawanannya. 

Namun seperti apapun yang kelihatan dari luar, gak akan pernah bisa mencerminkan 100% apa yang ada di dalam pikiran setiap orang. Kita tidak bisa menilai apa yang dipikirkan setiap orang, kecuali lewat tindakannya, apakah berguna bagi orang lain atau merugikan masyarakat.

Suatu negara hanya akan bisa berfungsi dengan baik ketika tindakan orang lah yang dinilai, bukan apa yang dikenakan oleh rakyatnya, bukan kepercayaan apa yang dianut warganya, bukan pikiran apa yang ada dalam otak mereka. 

Sisanya hanyalah menyediakan pendidikan sebaik mungkin supaya warganya ikut pintar, ikut memikirkan bagaimana caranya berguna bagi orang2 di sekitarnya.