Administratif

Gue memimpikan sebuah dunia di mana persoalan kewarganegaraan hanyalah menjadi soal administratif.

Gue keturunan Cina lahir di Jakarta dengan orang tua yang ngobrol dengan bahasa Jawa dan pergi ke gereja. Sampai saat ini gue ga pernah melihat diri gue sebagai orang Cina, gue melihat diri gue sebagai bagian integral dari keindonesiaan paspor gue. Tapi di sisi lain pun gue ga bisa tutup mata atas nama nasionalisme terhadap kekurangan-kekurangan negara ini. Gue pun juga ga tutup mata terhadap hal-hal negatif yang pernah dilakukan oleh orang-orang atas nama gerejanya.

Ga ada satu kebenaran pun yang absolut tanpa kehadiran sudut pandang lainnya.

Percampuran budaya dan cara hidup yang berbeda-beda akan selalu bisa kita hadapi hampir di semua kota besar di seluruh dunia. Seseorang baru lebih bisa menghargai yang minoritas ketika sudah pernah tau rasanya menjadi minoritas. Untungnya gue gak benar-benar merasa sebagai minoritas di segala macam pergaulan gue. Ketika gue merasa sebagai minoritas, gue akan merasa kecil dan merasa gak terlibat (atau gak perlu terlibat) dengan kegiatan2/kejadian2 yg ada di sekitar gue, termasuk yg membutuhkan kontribusi gue.

Gue gak mau melepaskan diri dari kenyataan bahwa gue hidup di tengah suatu masyarakat yang mungkin banyak berbeda dengan gue. Gue gak mau menganggap bahwa kehadiran gue gak dibutuhkan. Gue juga gak mau menganggap bahwa gue gak punya hak yang sama untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, juga gak mau menganggap bahwa gue lebih berhak atas itu semua daripada orang lain.

Globalisasi total akan terjadi, dan sebisa mungkin gue ingin bisa bersahabat dengan orang-orang yang baru, yang mana keunikan budayanya pasti akan memperkaya diri gue juga. Sebisa mungkin gue gak mau menganggap bahwa hanya ada satu saja cara hidup yang pantas dijalani (dan menyangkal cara-cara hidup lainnya yang dianggap gak sejalan), kecuali cara hidup yang bisa terus berkontribusi terhadap lingkungannya.

Tanaman yang gak bisa bergerak aja (kecuali bertumbuh) tetap bisa punya kontribusi terhadap ekosistemnya. Gue yakin planet Bumi diisi oleh orang-orang yang terus berkontribusi meskipun cara hidupnya berbeda dengan gue.

Bahasa dan Pikiran – 2

Kembali ke pentingnya pelajaran Bahasa, ketika kita terbiasa menata pikiran menjadi kalimat yang sistematis, maka barulah komunikasi yang baik lebih mungkin terjadi. Tanpa komunikasi yang baik lewat bahasa, sangat mudah bagi kita untuk berkomunikasi lewat kekerasan. Kita melakukan kekerasan karena merasa diri gak dimengerti orang lain, lalu memaksakan kehendak lewat media yang melanggar hak orang lain.

Menurut gue perbedaan pendapat di media sosial adalah hal yang biasa, bahkan harus terjadi sebagai wujud dari kebebasan berpendapat. Semua orang ingin didengarkan. Namun di saat kita mulai mau mendengarkan, baru di saat itulah kita bisa belajar akan hal2 baru.

Sebenernya ada banyak yang mau ngobrolin penegakan hukum, termasuk yg mau gak mau akhirnya nyerempet soal agama. Menurut gue segala hal boleh dipertanyakan ketimbang semua2 dipendam dan nunggu meledak. Sayangnya banyak dari kita yg gak mendem2 pun terlalu siap meledak ketika ketemu pertanyaan atau pemikiran yang kita gak mau dengar.

Gak mau dengar atau gak mau tau adalah suatu hak, tapi bertanya juga adalah hak. Kita punya banyak sekali hak sebagai manusia yang boleh dikejar dan diupayakan, selama kita gak merampas hak orang lain yang pasti akan beririsan pula dengan kepentingan kita.

Perbedaan bukanlah sesuatu yang bisa dianulir atau dianggap gak ada. Kita tetap bisa saling membantu dan saling menjaga kehidupan dengan orang2 yg berseberangan paham dengan kita. Tapi ketika kita merasa lebih berhak atas keistimewaan ini itu (misalnya karena merasa lebih senior atau lebih spesial lainnya) dan menganggap orang lain gak berhak atas hal yang sama yang kita nikmati, kita udah gak menganggap diri kita sebagai sesama dari manusia lainnya.

Mari kita menjadi manusia yang berbahasa 🙏

Bermimpi tentang Masyarakat Tanpa (Perbedaan) Kelas

Sesungguhnya bukan perbedaan ras, warna kulit, agama ataupun pandangan politik yang memecah masyarakat. Semua itu hanya ilusi yang digunakan sebagai kambing hitam untuk mempertahankan perbedaan kelas sosial. Kenapa? Perbedaan kelas ekonomi dalam masyarakat itu kalau dipertahankan sebagai status quo akan sangat bermanfaat untuk mempertahankan kekuatan ekonomi dan politik pihak-pihak yang lebih kuat, dan mereka akan selalu diuntungkan olehnya.

Dengan dalih alasan yang heroik demi pencitraan yang baik, kelas yang lebih kuat ini akan bisa terus memiliki kekuasaan untuk mengontrol sisa populasi dengan informasi yang mereka bisa batasi untuk nggak tersebar ke kelas yang lebih rendah. Sisanya, tinggal biarkan masyarakat yang gak seberuntung itu untuk saling memakan satu sama lain saja, menganggap satu sama lain sebagai musuh masing2 tanpa menyadari bahwa kita sama2 sedang menjadi bulan2an.

Segala perubahan yang menuju ke arah pemerataan kesejahteraan sebisa mungkin dibendung supaya kekritisan berpikir makin bisa dibatasi untuk melindungi status quo.

Uang tidak pernah mengenal agama maupun pandangan politik. Semua pengusaha besar akan menceburkan kaki di semua kolam, sehingga siapapun pemenang kontes politiknya, diri mereka akan tetap bisa diuntungkan. 

Tinggal tersisa nurani yang akan menentukan seberapa lama si pemimpin ini mau berusaha menjadi pahlawan, apakah dengan masa waktu yang cukup singkat untuk membuat perubahan, atau untuk waktu yang terlalu lama (dengan alasan yang sama: untuk membentuk perubahan) yang akan mengubahnya menjadi penjahat.