Bali Journey 1

Selalu menyenangkan main musik bareng Rio Herwindo dan Stella Paulina, apalagi sekarang mereka bikin Celtic Room Bali dan makin berkembang dgn chemistry antar musisi yang kerasa seger banget! Gue dan Andika Candra tadi ikutan mampir gabung sesi latihan terbuka yang sering mereka adain tiap minggu di tempat yang berbeda2.

Grup musik berbasis komunitas seperti yang juga mereka bentuk seperti di Celtic Room Jakarta ini memang punya keunikannya sendiri. Gak seperti grup musik ensembel atau band pada umumnya, dengan konsep seperti ini sebenernya mereka memberi secara langsung kepada masyarakat sekitarnya, entah mereka jadi bisa langsung ikut nikmati aja atau juga secara aktif ikut main musik2 Irlandia.

Bali sebagai jendela Indonesia terhadap komunitas internasional memang memudahkan musisi seperti mereka ini untuk gak hanya mendapat apresiasi yang lebih besar daripada di Jakarta, tapi juga untuk berkembang secara musik maupun secara kultural. Ada beberapa musisi non lokal yang juga rutin ikut latihan dan tampil bareng mereka, salah satunya teman baru gue, Margaret Denmead dari Irlandia yang ikut main gitar, bernyanyi, juga bermain Bodhran.

Pertukaran budaya dan informasi sangat mudah terjadi di Bali, terutama karena lewat musik bisa terjalin perkenalan dan pertemanan yang lebih menyenangkan dengan orang-orang baru.

2 minggu di sini, setiap hari dipenuhi dengan musik. Ditambah dengan langit biru dan alam yang terasa sangat dekat dengan keseharian, gue bisa bilang bahwa musik lebih bisa dinikmati di sini.

Masih ada seminggu lagi untuk dinikmati, semoga gue bisa meneruskan segala energi positif yang telah gue terima dari setiap perjumpaan dengan alam dan dengan teman-teman di sini. Semoga gue bisa terus memelihara kedamaian dalam diri lewat memberikan diri gue terhadap sekitar.

Uber dan Masyarakat Kelas Menengah

Di postingan ini gue nyebut diri gue sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah ngehe, ini istilah yang sering digunakan oleh pengamat sosial dalam konteks obrolan santai, merujuk ke kelompok masyarakat yang punya daya beli yang lumayan tinggi untuk membuat dirinya merasa perlu mengaktualisasikan dirinya lewat gaya hidup yang sebenernya belum tentu bisa dibiayai lewat penghasilan riilnya.

Ya, gue harus akui bahwa gue termasuk dalam kelompok yang seperti ini, yang mengeluh atas masalah-masalah sosial tanpa membuat diri sendiri menjadi bagian dari solusinya, merasa harus ikut mengenakan pakaian tertentu, mencoba makanan tertentu, menonton festival tertentu supaya gak merasa ketinggalan jaman, dan sebagainya.

Masih banyak yang gue sendiri belum cukup lakukan sebagai kontribusi gue terhadap masyarakat. Namun mengakui hal ini adalah awal dari perubahan. Kalau gue bukan bagian dari solusi, berarti gue adalah bagian dari masalah yang gue hadapi sendiri. Semoga gue bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi 🙏

Kaum menengah di Hindia Belanda pula yang pertama menyadari ketimpangan sosial antara kaum bangsawan Nusantara dan VOC (yang notabene punya simbiosis mutualisme) dengan rakyat jelata. Mereka ini bisa mencicipi pendidikan di bangku sekolah sehingga bisa menyadari bahwa sesungguhnya kita bisa berkuasa dalam menentukan nasib kita sendiri. Mereka inilah yang mengawali Pergerakan Nasional dan menyebarkan semangat ini ke lapisan masyarakat yang kurang seberuntung mereka hingga akhirnya terjadi Revolusi Nasional Indonesia.

Tanpa berpikir terlalu muluk, revolusi yang bisa kita usahakan adalah revolusi diri sendiri menjadi manusia yang lebih baik 🙏

Selamat berakhir pekan! 😇

Bahasa dan Pikiran

Ada lumayan banyak orang yg “gak ekspresif secara verbal”. Gue lumayan yakin bahwa ini cuma masalah kemauan membiasakan diri berekspresi lewat bahasa.

Dulu gue jg termasuk orang yg canggung dan bingung ngobrol sama orang yg baru dikenal. Tapi ada kaitan yg erat antara penguasaan bahasa tubuh dengan penguasaan bahasa verbal, dan karena itulah sebenernya pelajaran bahasa (terutama kalo buat kita itu pelajaran Bahasa Indonesia) seharusnya punya bobot yang tinggi di pelajaran sekolah. Ini menentukan gimana anak2 dilatih untuk berkomunikasi, dilatih untuk merangkai apapun yang ada di pikirannya untuk bisa diterjemahkan dengan baik oleh orang lain. Setelah terlatih, ia akan memiliki rasa percaya diri, bahwa dirinya bisa berkomunikasi dan berkontribusi terhadap masyarakatnya.

Pikiran adalah sesuatu yang abstrak, dan ternyata abstraksi berpikir ini gak secara umum dikuasai semua orang. Untungnya lumayan banyak musisi yang bisa menguasai hal ini, dan biasanya yang bisa mewujudkan sesuatu yg abstrak (misalnya ide komponis yg tertuang dalam partitur) menjadi musik (=bunyi-bunyian yg teratur) adalah yang berhasil mengkomunikasikannya kepada penonton yang akan terlibat secara emosional dan intelektual.

Itu sebabnya seni memiliki posisi yang penting dalam perkembangan peradaban manusia. Seni memiliki banyak aspek yang abstrak maupun yg konkrit.

Maka dari itu ketika kini bermunculan elemen masyarakat yg kurang bisa menangkap metafora dan simbol2 dari seni, itu bisa berakibat buruk bagi perkembangan masyarakatnya. Kenapa? Karena ini memungkinkan pemikiran2 yang “judgmental” bisa tumbuh subur, bukannya rasa penasaran yg apresiatif terhadap sesuatu yg belum kita mengerti.

Peran setiap anggota masyarakat adalah berusaha memberi kontribusi terbaiknya bagi perkembangan masyarakatnya. Hanya dengan kesadaran seperti inilah masyarakat bisa berkembang. Masing2 dari kita bisa ikut punya andil, gak peduli sekecil apapun itu. Dan semua yang kita lakukan pasti berawal dari pikiran. Pikiran yang terbuka akan memampukan setiap orang untuk melakukan hal2 yang semakin besar pula dampaknya bagi lingkungan.

You are what you eat. Dan ini ternyata berlaku pula terhadap apapun yang kita masukkan ke dalam pikiran kita 🙂

Mari kita tutup dengan kutipan Cak Lontong:

Banda (The Dark Forgotten Trail)

Barusan nonton film Banda, dan gue merasa tercerahkan kenapa bule2 Eropa jadi rakus banget dan saling bunuh demi menguasai rempah-rempah seperti yang sering kita denger di pelajaran Sejarah sejak SD.

Film dokumenter pertama garapan Jay Subyakto ini bener-bener cantik banget secara artistik. Animasi yang digunakan pun sebenernya bukan animasi yang keliatan fancy, tapi sangat efektif digunakan. Sinematografer yang terlibat juga adalah fotografer2 top Indonesia, di antaranya ada Oscar Motuloh, Davy Linggar dan Jay sendiri.

Musiknya digarap Indra Perkasa, yang lagi seneng-senengnya bereksperimen dengan synthesizer, dibantu oleh Jesslyn Juniata dan Ranya Badudu, sangat efektif bikin atmosfer yang adventurous sekaligus getir bagi film ini. Menurut gue kalau mereka pun bisa ikut terlibat dalam pengerjaan sound design-nya, hasil produksi audionya pasti akan lebih nge-blend lagi nih!

Kembali tentang filmnya. Reza Rahadian menarasikan evolusi Kepulauan Banda dengan sangat pas, membawa kita terhanyut dalam dongeng non fiktif, sambil secara bergantian para narasumber menceritakan pengalaman dan pengetahuan mereka. Ada pemilik perkebunan Pala yang menjelaskan pengolahan buah ini, juga bagaimana setiap bagian dari tumbuhan ini bisa dijadikan berbagai produk dari bumbu masakan, bahan kosmetik, hingga obat penenang. Ada juga sejarahwan yang menceritakan seberapa pluralnya elemen masyarakat Banda, hasil dari interaksi perdagangan beragam etnis dan agama sejak abad pertengahan.

Ada hal yang menarik terjadi di abad ke-17. Persaingan Belanda dan Inggris di Kepulauan Banda menumpahkan begitu banyak darah bagi kedua belah pihak, sampai akhirnya Belanda sepakat untuk menyerahkan Pulau Manhattan (di New York) kepada Inggris untuk ditukar dengan Pulau Run yang dipenuhi perkebunan Pala. Jadi Pulau New Amsterdam itu bergantilah namanya menjadi New York seperti yang kita kenal sekarang. ( https://en.m.wikipedia.org/wiki/Run_(island) )


(http://www.tigerblue.info/news-hub/2017/4/18/the-once-again-forgotten-run-island-manhattan-swap)

Fungsi Pala sebagai pengawet organik bagi bahan2 makanan akhirnya mulai surut setelah berkembangnya penggunaan kulkas secara umum di abad ke-19. Demikian pula dengan sakawnya orang-orang Eropa ini akan rempah2. Dan sejak itu pula kepulauan ini makin diabaikan dan VOC mengalihkan fungsi pulau2 ini menjadi tempat pengasingan bagi tahanan-tahanan politik seperti Cipto Mangunkusumo, Hatta, juga Syahrir di antaranya.


(Pulau Pisang kini dikenal dengan nama Pulau Syahrir, sedangkan Pulau Rosengain kini diganti namanya menjadi Pulau Hatta sebagai penghormatan akan kedua pahlawan nasional ini)

Paham kebangsaan para intelektual awal Indonesia ini malah makin menguat di sini, ditambah dengan meletusnya Perang Dunia II, mereka makin bisa memperjuangkan posisi Indonesia hingga akhirnya diakui sebagai negara yang berdikari di tengah pergaulan internasional.

Film ini tak hanya berhenti di sana, masih ada kelanjutan kisah dari miniatur Indonesia ini dalam narasi yang dirangkai sangat indah oleh penulis naskah Irfan Ramli. Gue sangat merekomendasikan film ini buat temen2 yang senang diajak berpikir dan menerjemahkan simbol2 visual.

Film Banda baru mulai tayang 4 Agustus kemarin dan hanya tayang di sejumlah kecil layar lebar XXI. Sayang banget kalau gak sempet nonton karena film dokumenter seperti ini jarang banget tayang di bioskop konvensional seperti XXI dan gue takut kalau penontonnya sedikit, film ini hanya akan tayang sebentar saja.

Membaca dan menonton sejarah adalah usaha memahami ke arah mana kita akan melangkah di depan nanti.

PS: Reza Rahadian membacakan "Cerita Buat Dien Tamaela" karya Chairil Anwar dengan sangat indah di penghujung

Bercahaya Walau Tanpa Purnama

Kita semua mau merasa lebih baik daripada orang2 lain yang gak termasuk dalam lingkaran pergaulan kita, makanya kita mudah menyalahkan keadaan atau orang lain ketimbang melihat ke diri sendiri apa yang bisa kita perbaiki ketika terjadi sesuatu yang buruk.

Ini pula yang mendorong kita nulis status socmed. Mungkin gue pun juga termasuk di antaranya. Tapi yah kalau memang kenyataan yang terjadi itu di luar kuasa kita, bukankah percuma kalau kita ngomel? Mending cari cara lain yang bisa bikin kita bisa jadi manusia yang lebih berguna buat diri sendiri dan masyarakat 🙏😇

Di sisi lain, mungkin banyak di antara kita yang gak lagi percaya sama politik atau hukum atau apalah karena situasi terbaru. Tapi gue percaya orang2 yang seperti ini pun juga gak akan peduli kalau hal ini terjadi pada orang lain yang bukan jadi idolanya, dan orang2 ini juga ga akan ambil pusing untuk ambil langkah aktif memperbaiki keadaan dengan terjun ke dunia politik dan hukum juga. Sekali lagi, itu juga hak mereka 🙂

Hanya alangkah indahnya ketika kita kesal akan sesuatu, kita pun mencari cara untuk bisa ikut memperbaiki keadaan tersebut, bukan hanya terus menyalahkan sistem, keadaan atau apapun kecuali diri sendiri yang sebenarnya bisa melakukan yang lebih dari sekadar mengungkapkan kesedihan dan kekesalannya. 

Selamat mencari dan selamat menjadi cahaya, bersinarlah walau tak nampak purnama!

Menjadi Manusia dan Menjadi Indonesia

Perubahan adalah hal yang pasti terjadi dan tak pernah berubah dalam alam semesta seiring berjalannya waktu. Salah satu bangsa yang berhasil mengikuti perkembangan jaman adalah Jepang. Mereka tidak takut beradaptasi dengan perkembangan teknologi namun pada saat yang bersamaan justru semakin memperkaya identitasnya melalui perubahan.

Indonesia adalah bangsa yang unik dan majemuk. Budaya (termasuk bahasa) nasional kita adalah hasil dari peleburan yang terus-menerus terjadi dari aneka budaya (dan bahasa) yang hidup dan saling berinteraksi di dalamnya. 

Memang adaptasi demi adaptasi dan peleburan-peleburan ini tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Ada proses eksperimen dan tawar-menawar pengaruh yang terjadi hingga sekarang. Sama seperti hampir di setiap daerah memiliki Soto yang khas, kerupuk yang khas, juga oleh-oleh khasnya sendiri, semua bisa terjadi karena kekayaan alam dan budaya yang kita miliki tak pernah habis digali dan menghasilkan (salah satunya) makanan yang semakin mengalami penyempurnaan dari segi rasa, nutrisi dan pada gilirannya membentuk manusia yang semakin kaya akan pengetahuan dan pengalaman.

Orang Indonesia yang satu akan sangat berbeda secara kasat mata dan tidak. Dan itulah indahnya perbedaan. Selama kita bisa saling melihat dari sudut pandang yang berbeda, maka kita akan bisa terus membangun negeri ini bersama-sama. Kenapa? Karena sesungguhnya lebih banyak kesamaan antara kita sebagai manusia daripada perbedaan-perbedaannya. 

Semoga dialog bisa terus berlangsung dan kita tak takut akan perubahan demi perubahan yang akan terus memperkaya kita sebagai manusia.

Tiga Dara (1956, Usmar Ismail)

Tiga Dara, karakternya stabil en kuat bgt semua tokohnya. Alurnya ya spt alur film2 jaman dulu, gak secepet film2 skrg editingnya. Nonton film ini emg mesti masukin ke dalam konteks perkembangan film Indonesia maupun luar negeri sih. Tapi memang secara umum film2 di jaman itu pendekatan aktingnya lbh seperti akting utk teater, jd gak semuanya kerasa senatural itu ya. 

Isu ttg cewe diuber nikah memang masih relevan ke jaman sekarang, tapi bahkan di tahun 1956, tahun tayangnya film itu, topik ini pun sudah dipertanyakan karena kita sebagai manusia seharusnya gak perlu dipaksa nikah hanya karena udah berumur sekian. Juga dipertanyakan di tahun segitu adalah apakah kebahagiaan seseorang ditentukan oleh apakah anak/cucunya uda berkeluarga di umur tertentu. Dan Usmar Ismail berhasil membungkus pertanyaan2 ini dengan memberikan ruang dialog tanpa menggurui, dengan kemasan yang ringan dan menghibur terutama dengan musik dan lagu Jazz dan Melayu garapan Sjaiful Bachri.

*Bagi gue, kebahagiaan seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan tanggung jawab orang lain, termasuk anggota keluarganya sendiri. Menikah hanya untuk membahagiakan orang tua adalah salah satu cara untuk membangun neraka bagi diri sendiri kalau kebahagiaan diri sendiri nggak termasuk dalam pertimbangannya.

Ilusi yang Bernama Nasionalisme

Nonton semifinal secara langsung di Gelora Bung Karno adalah pengalaman yang benar-benar sebisa mungkin dirasakan oleh setiap penduduk Jakarta (dan Indonesia pada umumnya). Kenapa? Bukan sekadar supaya bisa nonton pertandingan-pertandingan yang seru bareng temen-temen, bukan pula sekadar supaya bisa pamer foto-foto dan pamer cerita ke temen-temen lain yang ngga ikut nonton (seperti yang sedang gw lakukan sekarang ini, hehe). Ada satu alasan yang baru bisa gw pahami setelah gw mengalami nonton secara langsung sebuah pertandingan olahraga berskala raksasa seperti yang baru aja tadi gw tonton di sana. Pertandingan sepakbola adalah pertandingan olahraga yang sangat spesial karena tidak ada jenis pertandingan olahraga lainnya yang gelanggangnya bisa menampung segitu besarnya jumlah penonton. Dan jumlah penonton yang mencapai ratusan ribu tentunya menimbulkan efek lainnya berupa amplifikasi akan luapan emosi, termasuk yang diakibatkan oleh aneka atribut, atraksi-atraksi para suporter, juga bahkan pesta kembang api di stadion selama pertandingan berlangsung! Untuk hal yang terakhir disebut ini memang sepertinya cuma ada di negara kita, tapi itu menambah alasan kenapa pengalaman ini benar-benar seperti di luar dunia nyata. Seperti halnya gabungan suara beberapa biola menghasilkan suara ensembel gesek yang sangat bertenaga, gabungan raungan, teriakan dan sorakan para suporter pun menghasilkan ombak suara yang tidak hanya sekadar menggelegar, tapi juga bisa mengisi ruang demi ruang dalam jiwa kita yang memberi identifikasi akan diri kita sendiri dengan penonton lain yang tidak kita kenal namun memiliki kesamaan di saat dan di tempat itu juga. Identitas itu biasa sering kita sebut sebagai nasionalisme. Baca pos ini lebih lanjut