Simpul Puitis

Gue merasa beruntung sekali dalam seminggu bisa nonton konser 2 orkestra besar Jakarta, yang satu Jakarta Simfonia Orchestra, satu lagi Jakarta City Philharmonic, dan keduanya memiliki kesan yang mendalam. Kedua konser inilah yang membuat gue makin yakin perkembangan dunia orkestra tanah air menjadi semakin menjanjikan.

Tentang JSO yang hanya memainkan 2 karya simfonik (Mozetich – The Passion of Angels dan Berlioz – Symphonie Fantastique) sudah gue bahas di status Facebook sebelumnya. Tapi yang menarik untuk kembali diungkit adalah bahwa ada beberapa pemain instrumen gesek yang main di kedua konser ini, dan sensitivitas mereka semakin tinggi tak hanya dalam bermain dan mendenyutkan musiknya bersama, tapi juga dalam saling mendengarkan satu sama lain, sehingga setiap musisi bisa memahami fungsi dari bunyi instrumennya masing-masing dalam membentuk anyaman dengan bunyi instrumen-instrumen lainnya.

Konser malam tadi adalah kali pertamanya JCP menjual tiket, dan kali pertamanya mereka hanya menggunakan ensembel gesek dalam pertunjukannya. Ada tantangan yang sangat tinggi dalam menggunakan instrumentasi seperti ini, yaitu bahwa musik yang dihasilkan harus mengantarkan energi yang sama besarnya kepada penonton walau tanpa kehadiran alat-alat tiup dan perkusi. Konsekuensinya, tak hanya dibutuhkan stamina yang tinggi dari para pemain, tapi juga kepekaan yang tinggi dalam mengusahakan setiap divisi instrumen (biola 1, biola 2, viola, cello dan kontrabas) untuk bisa solid secara ritme maupun secara intonasi nada.

Memang masih ada yang bisa disempurnakan di aspek ini, namun hal yang tak kalah pentingnya adalah intensitas dari setiap nada ataupun setiap tanda istirahat yang dibunyikan (dan tidak dibunyikan). Hal ini sangat terasa sejak lagu Indonesia Raya dimainkan sebagai pembuka konser. Baru kali ini gue denger lagu kebangsaan kita ini dimainkan hanya dengan orkestra gesek, dan ternyata justru ada keharuan yang lebih dalam terasa tanpa kehadiran alat tiup dan perkusi, dan penonton bagai disiapkan untuk merasakan kesyahduan konser malam ini.

Tak hanya syahdu, beberapa nomer seperti Serenade karya Edward Elgar dan Divertimento karya Bartok menantang para musisi dan konduktor untuk menghasilkan musik yang menyalak, berjingkat, melompat, juga galak di banyak momen. Tapi terutama di dua nomer terakhir, Serenade karya komponis Swedia, Dag Wiren; dan Adagietto dari Simfoni ke-5 karya Gustav Mahler, konduktor Budi Utomo Prabowo berhasil mengajak para musisi JCP menunjukkan penguasaan interpretasi mereka yang lebih berani lugas dalam artikulasi nada-nadanya, dengan kedalaman musikalitas yang lentur untuk menghasilkan kontras dinamika dan warna yang dibutuhkan di sana-sini.

Memang sebenarnya kalau kelugasan dan kelebaran jangkauan dinamika yang sama bisa dihasilkan di nomer-nomer lainnya – terutama di karya Budhi Ngurah, Tarian Kabut Kintamani, yang banyak mengadaptasi jalinan alat-alat gamelan ke dalam ensembel gesek di dalamnya – pasti akan lebih menguras energi para pemain tapi akan membuat pengalaman konser hari ini lebih tak terlupakan lagi.

Apresiasi tinggi juga perlu dialamatkan kepada para prinsipal, terutama Danny Robertus (biola 1), Obrin Kussoy (viola) dan Ade Sinata (cello) yang mengantarkan porsi-porsi solo mereka dengan sangat memukau dan proporsional, dengan kelenturan warna bunyi yang memungkinkan mereka untuk bisa tetap berbunyi selaras ketika harus kembali berbunyi tutti bersama rekan-rekan divisinya.

Perlu disebutkan juga adalah Vincent Wiguna yang memainkan orgel bambu yang keunikan warna bunyinya berhasil membuat Adagio in g minor karya Albinoni/Giazotto dan Canon in D karya Pachelbel menjadi lebih sejuk tropikal. Juga harpis Carlin Eureka Yasin yang turut mengiringi dengan dinamika dan artikulasi yang pas dalam Adagietto karya Mahler yang banyak menuntut kesigapan akan fluktuasi tempo.

Adagio for Strings karya Samuel Barber sangat pas dipilih sebagai persembahan untuk mengenang mereka yang menjadi korban kekerasan atas kemanusiaan yang terjadi belum lama ini di beberapa tempat di Indonesia. Secara pribadi, gue merasa sebenarnya karya ini bisa lebih lirih lagi dimainkan, terutama di titik klimaks sebelum bagian Coda. Namun tetap tidak menghilangkan kesyahduan yang sama yang ingin dihadirkan JCP malam ini.

Sesuai penjelasan konduktor Budi Utomo Prabowo, tema Simpul dalam konser malam ini memang dirasa cocok mewakili pernyataan sikap JCP sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakatnya. Alat-alat gesek memiliki dawai yang hanya akan bisa dibunyikan jika diregangkan dan diikat dengan simpul di kedua ujungnya. Apa yang kita butuhkan sebagai masyarakat adalah simpul demi simpul yang mampu mengikat individu-individu yang berbeda satu sama lain ini dalam suatu kesamaan. Dan memang kesamaan nasib biasanya memudahkan kita untuk bisa merasa sejajar dengan sesama.

Menutup konser malam ini, JCP memainkan Di Bawah Sinar Bulan Purnama karya penulis lagu R. Maladi yang diaransemen oleh Jozef Cleber – yang juga mengaransemen Indonesia Raya yang membuka konser ini. Secara puitis, karya ini seperti menekankan lagi tentang simpul tadi: kita semua berbagi kehidupan di bawah sinar bulan yang sama pula.

Selamat menjadi (sesama) manusia!

Dansa Bandung Philharmonic Orchestra

Konser bertema “Dance” tadi malam oleh Bandung Philharmonic Orchestra bener2 membuka mata akan suatu khazanah orkestra yang selama ini ternyata baru gue kenali hanya sebagian kecil aja. Dengan repertoar yang sebenernya cukup standar di antara koleksi rekaman2 orkestra, ternyata masih ada banyak sekali sisi musikal yang masih bisa digarap oleh konduktor Robert Nordling, yang membuat semua karya itu terasa baru sama sekali buat penontonnya, setidaknya bagi gue pribadi.

Orkestra ini bisa terbilang masih sangat muda di kancah musik orkestra Indonesia. Namun keingintahuan gue akan orkestra ini akhirnya terpuaskan setelah perjalanan 3,5 jam ke Bandung untuk jadi saksi mata secara langsung pengalaman musikal yang mereka alami bersama Nordling selama 2 tahun ini.

Musik dan tari memang tak terpisahkan. Tari tanpa musik seakan menjadi kegiatan olahraga, sedangkan musik tanpa tarian menjadi entitas yang tak usai karena memang musik menggerakkan kita yang mendengarnya.

Berbagai jenis musik yang ditulis dengan motivasi mengiringi suatu pertunjukan tari atau terinspirasi bentuk-bentuk tari pergaulan dimainkan malam tadi. Ada suita dari balet “Swan Lake” karya Tchaikovsky yang dimainkan komplit, ada juga cuplikan dari balet “Firebird” karya Stravinsky, “Concerto for Violin and Oboe in C minor, BWV 1060” karya Bach, “Pavane for A Dead Princess” karya Ravel, ada juga “Suvenir dari Minangkabau” karya komponis muda Arya Pugala Kitti pemenang sayembara komposisi Bandung Philharmonic yang malam ini dipentaskan perdana, lalu juga ada “Blue Danube Waltz” yang notabene gak pernah bener2 gue sukai kecuali ketika dimainin tadi malam karena penggarapan yang sangat detil dan sangat menghidupkannya! Tak lupa mereka juga siapkan encore “Hoedown” karya Copland dari balet “Rodeo”.

Sayangnya gue belum sempet nonton proses latihan mereka. Namun dari tariannya, Nordling membuka mata gue bahwa mengaba suatu orkestra dengan efektif dan efisien itu tak sekadar hanya lewat mengkomunikasikan ide musikal secara verbal dengan jelas, namun juga lewat energi dan bahasa tubuh yang tepat.

Ketike gue menemukan bahwa gue bisa menularkan energi itu kepada para musisi, musik yang dihasilkan pun akan sesuai dengan energi yang gue minta dari mereka. Namun masih sulit bagi gue untuk gak ngos-ngosan setelah setiap latihan dan pentas karena gue mengeluarkan energi itu dengan tidak efisien. Dirigen-dirigen terdepan dunia sangat menguasai teknik mereka dan bisa menerapkannya dengan sangat effortless, tak terkecuali Nordling. Gue bisa melihat bahwa setiap ayunan dan gerak-geriknya sangat sederhana namun bisa sangat jelas menunjukkan detil2 yang ia minta dari para musisinya. Nyaris gak ada bedanya dengan Tai Chi. Elegan, dinamis, berwibawa, namun terutama sangat persuasif dan menginspirasi!

Memang tingkat kepercayaan diri dan penguasaan instrumen setiap solisnya belum merata di orkes ini. Hal itu terasa ketika beberapa principal di seksi gesek memainkan solo di beberapa bagian, intonasi dan proyeksi suaranya sudah terasa solo namun belum cukup keluar memenuhi ruangan aula. Untungnya hal itu tidak terjadi di seksi tiup, setiap solo dieksekusi dengan mantap. Di sisi lain ternyata standar yang ditetapkan pada saat audisi telah menyeleksi musisi-musisi yang lebih mengedepankan kemampuan bermain secara ensembel. Terbukti setiap frase yang dibangun bisa bernafas dan berbicara secara kompak kepada penonton.

Solis Lidya Evania dan Arjuna Bagaskara memiliki rekam jejak dan jam terbang yang cukup tinggi di beberapa panggung internasional. Dan lewat permainan mereka di Double Concerto itu, penonton dihipnotis oleh penguasaan mereka yang tak cuma sangat tinggi akan karya Bach itu, tapi juga lewat liukan dan alunan frase mereka yang terkadang elegan, terkadang sangar bisa berdansa satu sama lain dan juga dengan para musisi orkestra yang lainnya. Yuty Lauda pun tak hanya merespon dan menjaga keutuhan tempo namun juga menyatukan permainan kedua solis ini dengan segenap seksi gesek lewat permainan harpsichord-nya.

Ada Rama Widi yang malam ini bukan diundang sebagai solis namun sebagai bagian dari ensembel. Sama seperti setiap instrumen lainnya di orkestra ini tak ada yang luput dari giliran mendapat sorotan, terutama kehadiran Rama pun selalu terasa kuat di setiap petikannya. Hal yang belum cukup umum namun seharusnya bisa dihasilkan oleh setiap pemain harpa orkestra di Indonesia – setidaknya yang sejauh ini sering gue tonton – yang biasanya cukup tertimbun di balik tebalnya bebunyian puluhan musisi lain.

Selain itu pada bassoon dan seksi tiup logam ada beberapa musisi tamu dari Singapura, Thailand dan Belanda yang sangat bisa mengajak rekan-rekannya musisi lokal kita untuk menghasilkan tone simfonik yang memang masih jarang tereksekusi semantap itu di sini. Gue yakin pengalaman bermain orkes dengan mereka yang lebih berpengalaman akan memudahkan kita menguasai bahasa musikal itu untuk kemudian bisa kita tularkan lagi kepada yang lebih junior selanjutnya. Ada harapan yang semakin cerah di kemudian hari bagi perkembangan orkes nasional kini dengan sistem mentoring semacam ini.

Entah sejak kapan Bandung Philharmonic menggunakan instalasi reflektor untuk keperluan proyeksi suara orkestranya di Teater Tertutup Dago Tea House ini. Tapi dengan sangat terbatasnya ketersediaan gedung pertunjukan yang ramah akustik bagi suatu konser orkestra, hal ini menjadi sangat penting bagi mereka supaya energi yang mereka pancarkan bisa lebih efisien tersampaikan kepada penonton, tak terserap terlalu banyak oleh bahan pengedap suara di gedungnya maupun terpantul terlalu banyak di tembok. Salah satu strategi yang sangat manjur mereka terapkan!

Konser ini didukung tak hanya oleh Badan Ekonomi Kreatif Nasional, tapi juga sponsor-sponsor swasta dan pemerintahan serta puluhan donatur pribadi sehingga program orkestra ini bisa terus berjalan dan berkembang. Memang suatu orkestra adalah milik bersama antara para musisi, pihak manajemen dan masyarakatnya sendiri. Semakin maju masyarakatnya, semakin maju pula perkembangan kebudayaannya. Dengan harga tiket yang tidak terlalu murah namun masih sangat terjangkau, ternyata sajian musikal malam ini masih sangat dicari oleh masyarakat Bandung dan sekitarnya yang terus memenuhi kursi penonton hingga akhir konser.

Komplit sudah tarian tadi malam dipertunjukkan sangat menggugah oleh konduktornya, oleh para musisi, juga oleh sinergi yang sangat menginspirasi dari para penyelenggara dan para penontonnya yang sangat apresiatif. Terima kasih dan salut banget kepada publik Bandung yang terus-menerus menciptakan ekosistem yang bisa menghasilkan musisi-musisi top tanah air dari berbagai genre musik!

Gue cuma keluar Rp 150.000 untuk tiket konser ini namun batin gue semakin kaya sepulangnya :’)

Karya Stravinsky yang Hilang

(http://www.medici.tv/?_escaped_fragment_=/valery-gergiev-stravinsky-chant-funebre)

Igor Stravinsky, salah satu komponis paling terkenal Rusia di pergantian abad 19 ke 20, pernah kehilangan satu karya yang menurut beliau adalah karya terbesarnya setelah The Firebird. Karya yang berjudul Chant Funebre (Funeral Song) ini ditulisnya untuk mengenang dan mengantar kepergian guru komposisinya, Nikolai Rimsky-Korsakov, yang juga adalah komponis besar Rusia di abad 19. 

Pada 1917 pecah revolusi Bolshevik dan partitur karya ini pun lenyap di antara timbunan puing-puing kota Petrograd (kini St. Petersburg). Hingga akhir hayatnya, Stravinsky hanya pernah sekali saja mementaskannya tanpa pernah satu pun pencarian para musikolog Rusia mendapatkan hasil. 

106 tahun kemudian Irina Sidorenko tak sengaja menemukan kumpulan karya Stravinsky ketika sedang merapikan koleksi perpustakaan Konservatori St. Petersburg dan segera menelpon koleganya, musikolog Natalia Braginskaya yang juga dititipkan misi pencarian ini oleh guru-gurunya. Setahun kemudian, Maestro Valery Gergiev mendapat kehormatan untuk menampilkan karya ini dengan Mariinsky Orchestra.


Gue suka sekali karya2 Stravinsky, dan guru komposisi gue pernah menonjolkan Stravinsky sebagai contoh komponis yang sangat anti mengulangi apa yang pernah dia buat sebelumnya. Memang bener adanya, gue ga pernah denger sisi musikalitas Stravinsky yang seperti ini di karya2 dia yang lain. Beliau belajar banyak sekali teknik orkestrasi yang brilian dari Rimsky-Korsakov, tapi terutama hal itu sangat kental terasa dalam penghormatan terakhir bagi gurunya ini, tanpa kehilangan identitasnya sendiri!

Melihat seberapa pentingnya para budayawan dan musisi Rusia memandang karya komponis2nya, juga seberapa tinggi respek Stravinsky bagi pendahulunya itu lewat karya ini, gue jadi belajar pentingnya suatu karya yang menjadi jembatan. Jembatan2 ini gak cuma menghubungkan masa lalu dengan masa depan, tapi juga menghubungkan manusia2 yang berbeda lewat rasa kesamaan nasib. Semua itu bisa diwujudkan lewat karya. 

Makin banyak kita berkarya, ternyata kita makin bisa menemukan serpihan2 diri kita di dalam diri setiap manusia yang kita jumpai. Semuanya akan terus saling terhubung.

Kontrak Sosial, Dibahas dari Hubungan Antar Pacar

Ada sesuatu ttg bagaimana kita dilahirkan, dari keluarga yang seberuntung apa, yang mendidik kita menjadi pribadi yang seperti apa, yang membuat kita termasuk dalam golongan masyarakat yang mana.

Juga ada sesuatu ttg bagaimana kita belajar dari lingkungan dan pengalaman kita, yang menentukan apakah kita bisa masuk ke dalam pergaulan golongan masyarakat yang berbeda.

Ada sesuatu di balik berbedanya karakter tiap lapisan masyarakat. Perbedaan kelas ini menurut gue gak akan pernah hilang sampai kapan pun. Walau di abad ke-21 ini kita uda cenderung gak saling membedakan satu sama lain atas hal-hal yg bersifat fisik, tapi berbedanya kemampuan kita berbelanja, kemampuan kita mempelajari hal-hal baru, kemampuan kita menghasilkan uang akan terus membuat kita berada dalam suatu golongan masyarakat tertentu aja. Juga walaupun kesempatan mendapat pendidikan yang semakin tinggi pun juga semakin merata, namun negara2 yang tingkat pendidikannya sangat merata tingginya pun masih tetap memiliki perbedaan kelas di dalam masyarakatnya.

Ada hal yang sangat menarik. Saat ini kekuasaan sudah makin bisa dibagikan dengan lebih merata. Kini wewenang seorang raja pun disesuaikan dengan tanggung jawabnya bagi masyarakat. Seorang mafia tingkat tinggi pun ga bs lagi terlalu semena-mena dan juga harus tunduk pada kekuatan media sosial yang dibangun oleh kekuatan jutaan netizen dan konsumen.

Termasuk posisi wanita sebagai pelaku dan pendukung utama kekuatan ekonomi suatu keluarga bahkan suatu bangsa semakin diperhitungkan di masa ini.

Dengan semakin sejajarnya posisi tawar antara manusia, maka semakin tersingkirlah orang-orang yang kurang bisa menerima kenyataan ini, untuk kemudian entah menjadi minder, angkuh untuk menutupi kekurangannya, atau menyebarkan kebenciannya dalam bentuk cibiran, fitnah, bahkan juga kekerasan dal bentuk apapun.

Persoalan-persoalan dalam hubungan suatu pasangan, ortu dan anak, antar teman, dll pada umumnya didasari oleh kesadaran yang kurang akan hal ini, akan kekuasaan dan akan posisi tawar masing-masing. Itulah sebabnya JJ Rousseau mengajukan suatu konsep Kontrak Sosial, termasuk bahwa pemerintah hanyalah sekuat rakyatnya. Bagi gue sendiri ini berarti kekuatan sebuah negara dilihat dari kekuatan rakyatnya; solidnya sebuah keluarga dapat dilihat dari kualitas komunikasi antar anggotanya; kualitas suatu pasangan dilihat dari kemampuan masing-masing dalam saling memberi dan menerima kepercayaan satu sama lainnya.

Ada sesuatu yang mendorong kita dalam menentukan pilihan bagi hidup kita sendiri, termasuk memilih orang-orang yang ingin kita temui lebih sering di dalam kehidupan kita sehari-hari, yang lebih penting bagi kita. Termasuk dalam pertimbangan tsb adalah seberapa banyak nantinya kita akan mampu memberikan pengaruh kepada mereka. Harus diakui bahwa itu semua tak terelakkan. Namun semakin cepat kita menyadari hal ini semakin baik.

Kenapa?

Karena dengan begitu kita akan semakin mudah menyadari tanggung jawab kita pula untuk mengusahakan yang terbaik bagi orang-orang tersebut. Dan semakin banyak jumlah orang yang ingin melakukan yang terbaik bagi orang lain, semakin dekat pula kita dalam bersama-sama menciptakan surga di atas bumi.

Bukankah itu tujuan utama kita hidup di dunia ini: menyediakan rumah dan bumi yang semakin baik lagi bagi generasi setelah kita?

Kepala gue udah mau pecah dengan semua hal yang berkecamuk di dalamnya selama setahun ini, tapi gue sangat menikmatinya dan ga sabar untuk segera belajar lebih banyak lagi selama tahun 2015 nanti.

Selamat hari Minggu yang terakhir di 2014!

Street Smart vs Book Smart

Asisten rumah gue adalah orang yang doyan ngobrol banget. Biasanya obrolannya ada di seputar rencana nyekolahin anaknya di kampung sana supaya dapet lingkungan pergaulan yang lebih oke, atau soal motornya yang mogok karena kerendem banjir.

Tadi dia cerita ttg pengalamannya kerja serabutan: kerja jd petani upahan di kampung, jualan sayur dan buah-buahan, sampe ke pengalaman kerja di Brunei. Nah, di momen ini obrolan jd sangat menarik. Dia sempet cerita ttg pergumulannya menghadapi suami yg gak punya kesadaran untuk kerja dan berperan sbg kepala rumah tangga. Gue sering denger cerita seperti ini, di mana sekitar lebih dari 70% rumah tangga di Jawa dinafkahi oleh istri, sementara suami kebanyakan hanya ngabisin duit yg dihasilin sang istri dengan judi dan mabuk. Gue kira cerita begini cuma ada di jamannya Rhoma Irama berjaya, ternyata masih banyak terjadi di abad-21 ini.

Kembali ke si Mba. Tabungan, beberapa rumah dan tanahnya abis dilego sang suami untuk judi. Namun dia gak mau menyerah sama nasib. Dia bertekad utk tetep bisa biayai sekolah anak2nya dengan terbang ke Brunei sambil tetep jalanin usaha dagangnya juga. Akhirnya setelah bbrp tahun dia pulang dan sang suami yg baru bisa merasa kehilangan dia (dan duitnya) memohon untuk balikan. Baru setelah mengalami titik terendah lah manusia bisa menyadari dirinya sendiri. Akhirnya mereka pindah tinggal di Ibukota dan suaminya tobat dan mulai rasain susahnya banting tulang.

Seru bgt denger cerita begini dari orang yg ngalamin langsung. Kita bisa rasain energinya gak cuma lewat suaranya saat bercerita, tapi juga sorot mata dan bahasa tubuhnya yang bikin kita masuk ke dunianya. Dan yang lebih bikin gue takjub: gimana caranya seorang perempuan yg tinggal di kampung bisa punya visi ke depan dan melakukan hal2 yang gue kira cuma bisa terpikirkan oleh orang yg punya tingkat pendidikan tertentu? Dia cuma lulusan SD tp pemikirannya bisa bikin dia jd orang yang tangguh dan ulet. Bahkan gue yg lbh beruntung dari dia, ga melihat diri gue seulet itu dalam bekerja dan menggapai impian2 gue.

Kita sering denger cerita ttg pengusaha2 yg bisa membangun usahanya sampe sangat besar padahal latar belakang akademis mereka gak tinggi2 amat. Sebaliknya kita jg banyak denger tingkat pengangguran kita masih lumayan tinggi walau makin banyak yg lulus kuliah. Itu nunjukin bahwa pendidikan formal aja gak akan pernah cukup utk menjamin masa depan. Pengetahuan dari pengalaman susahnya cari duit utk bertahan hidup lah yang bisa bikin kita kreatif muter otak utk ngakalin kesulitan2 kita dlm mencapai titik yg semakin tinggi dlm hidup.

Timbul pertanyaan baru di kepala gue: Gimana sebaiknya nanti gue mendidik anak gue untuk persiapin dia ngadepin masa depannya yang akan lebih seru daripada kehidupan di masa gue sekarang ini?

10 Feb 2014

Ilusi yang Bernama Nasionalisme

Nonton semifinal secara langsung di Gelora Bung Karno adalah pengalaman yang benar-benar sebisa mungkin dirasakan oleh setiap penduduk Jakarta (dan Indonesia pada umumnya). Kenapa? Bukan sekadar supaya bisa nonton pertandingan-pertandingan yang seru bareng temen-temen, bukan pula sekadar supaya bisa pamer foto-foto dan pamer cerita ke temen-temen lain yang ngga ikut nonton (seperti yang sedang gw lakukan sekarang ini, hehe). Ada satu alasan yang baru bisa gw pahami setelah gw mengalami nonton secara langsung sebuah pertandingan olahraga berskala raksasa seperti yang baru aja tadi gw tonton di sana. Pertandingan sepakbola adalah pertandingan olahraga yang sangat spesial karena tidak ada jenis pertandingan olahraga lainnya yang gelanggangnya bisa menampung segitu besarnya jumlah penonton. Dan jumlah penonton yang mencapai ratusan ribu tentunya menimbulkan efek lainnya berupa amplifikasi akan luapan emosi, termasuk yang diakibatkan oleh aneka atribut, atraksi-atraksi para suporter, juga bahkan pesta kembang api di stadion selama pertandingan berlangsung! Untuk hal yang terakhir disebut ini memang sepertinya cuma ada di negara kita, tapi itu menambah alasan kenapa pengalaman ini benar-benar seperti di luar dunia nyata. Seperti halnya gabungan suara beberapa biola menghasilkan suara ensembel gesek yang sangat bertenaga, gabungan raungan, teriakan dan sorakan para suporter pun menghasilkan ombak suara yang tidak hanya sekadar menggelegar, tapi juga bisa mengisi ruang demi ruang dalam jiwa kita yang memberi identifikasi akan diri kita sendiri dengan penonton lain yang tidak kita kenal namun memiliki kesamaan di saat dan di tempat itu juga. Identitas itu biasa sering kita sebut sebagai nasionalisme. Baca pos ini lebih lanjut

Yang Berkuasa Ternyata Tidak Selalu Berbudaya

Baru saja gw pulang dari studio, di mana gw bantuin band temen gw yang sedang pusing. Ya, temen gw pusing, dan seisi bandnya pun juga pusing, padahal mereka baru saja dikontrak oleh sebuah label rekaman. Wah, kok bisa pusing toh? Nah, justru ini bukan hal yang aneh kalau sebuah band independen tiba-tiba pusing karena dapet tawaran kontrak rekaman suatu label. Betapa tidak, uda jadi rahasia umum di kalangan musisi bahwa bila suatu band dapet tawaran kontrak rekaman, maka serta-merta mereka cukup kehilangan hak eksklusif mereka dalam menentukan arah bermusiknya. Memang ada pengecualian dalam hal ini, di mana ada segelintir (ya, segelintir!) produser rekaman yang dapat melihat potensi kreativitas musikal band yang digawanginya untuk berkarya. Namun secara umum, hal inilah yang dihadapi oleh hampir seluruh anak band yang ketiban kontrak rekaman (setidaknya) di Jakarta. Baca pos ini lebih lanjut