Simpul Puitis

Gue merasa beruntung sekali dalam seminggu bisa nonton konser 2 orkestra besar Jakarta, yang satu Jakarta Simfonia Orchestra, satu lagi Jakarta City Philharmonic, dan keduanya memiliki kesan yang mendalam. Kedua konser inilah yang membuat gue makin yakin perkembangan dunia orkestra tanah air menjadi semakin menjanjikan.

Tentang JSO yang hanya memainkan 2 karya simfonik (Mozetich – The Passion of Angels dan Berlioz – Symphonie Fantastique) sudah gue bahas di status Facebook sebelumnya. Tapi yang menarik untuk kembali diungkit adalah bahwa ada beberapa pemain instrumen gesek yang main di kedua konser ini, dan sensitivitas mereka semakin tinggi tak hanya dalam bermain dan mendenyutkan musiknya bersama, tapi juga dalam saling mendengarkan satu sama lain, sehingga setiap musisi bisa memahami fungsi dari bunyi instrumennya masing-masing dalam membentuk anyaman dengan bunyi instrumen-instrumen lainnya.

Konser malam tadi adalah kali pertamanya JCP menjual tiket, dan kali pertamanya mereka hanya menggunakan ensembel gesek dalam pertunjukannya. Ada tantangan yang sangat tinggi dalam menggunakan instrumentasi seperti ini, yaitu bahwa musik yang dihasilkan harus mengantarkan energi yang sama besarnya kepada penonton walau tanpa kehadiran alat-alat tiup dan perkusi. Konsekuensinya, tak hanya dibutuhkan stamina yang tinggi dari para pemain, tapi juga kepekaan yang tinggi dalam mengusahakan setiap divisi instrumen (biola 1, biola 2, viola, cello dan kontrabas) untuk bisa solid secara ritme maupun secara intonasi nada.

Memang masih ada yang bisa disempurnakan di aspek ini, namun hal yang tak kalah pentingnya adalah intensitas dari setiap nada ataupun setiap tanda istirahat yang dibunyikan (dan tidak dibunyikan). Hal ini sangat terasa sejak lagu Indonesia Raya dimainkan sebagai pembuka konser. Baru kali ini gue denger lagu kebangsaan kita ini dimainkan hanya dengan orkestra gesek, dan ternyata justru ada keharuan yang lebih dalam terasa tanpa kehadiran alat tiup dan perkusi, dan penonton bagai disiapkan untuk merasakan kesyahduan konser malam ini.

Tak hanya syahdu, beberapa nomer seperti Serenade karya Edward Elgar dan Divertimento karya Bartok menantang para musisi dan konduktor untuk menghasilkan musik yang menyalak, berjingkat, melompat, juga galak di banyak momen. Tapi terutama di dua nomer terakhir, Serenade karya komponis Swedia, Dag Wiren; dan Adagietto dari Simfoni ke-5 karya Gustav Mahler, konduktor Budi Utomo Prabowo berhasil mengajak para musisi JCP menunjukkan penguasaan interpretasi mereka yang lebih berani lugas dalam artikulasi nada-nadanya, dengan kedalaman musikalitas yang lentur untuk menghasilkan kontras dinamika dan warna yang dibutuhkan di sana-sini.

Memang sebenarnya kalau kelugasan dan kelebaran jangkauan dinamika yang sama bisa dihasilkan di nomer-nomer lainnya – terutama di karya Budhi Ngurah, Tarian Kabut Kintamani, yang banyak mengadaptasi jalinan alat-alat gamelan ke dalam ensembel gesek di dalamnya – pasti akan lebih menguras energi para pemain tapi akan membuat pengalaman konser hari ini lebih tak terlupakan lagi.

Apresiasi tinggi juga perlu dialamatkan kepada para prinsipal, terutama Danny Robertus (biola 1), Obrin Kussoy (viola) dan Ade Sinata (cello) yang mengantarkan porsi-porsi solo mereka dengan sangat memukau dan proporsional, dengan kelenturan warna bunyi yang memungkinkan mereka untuk bisa tetap berbunyi selaras ketika harus kembali berbunyi tutti bersama rekan-rekan divisinya.

Perlu disebutkan juga adalah Vincent Wiguna yang memainkan orgel bambu yang keunikan warna bunyinya berhasil membuat Adagio in g minor karya Albinoni/Giazotto dan Canon in D karya Pachelbel menjadi lebih sejuk tropikal. Juga harpis Carlin Eureka Yasin yang turut mengiringi dengan dinamika dan artikulasi yang pas dalam Adagietto karya Mahler yang banyak menuntut kesigapan akan fluktuasi tempo.

Adagio for Strings karya Samuel Barber sangat pas dipilih sebagai persembahan untuk mengenang mereka yang menjadi korban kekerasan atas kemanusiaan yang terjadi belum lama ini di beberapa tempat di Indonesia. Secara pribadi, gue merasa sebenarnya karya ini bisa lebih lirih lagi dimainkan, terutama di titik klimaks sebelum bagian Coda. Namun tetap tidak menghilangkan kesyahduan yang sama yang ingin dihadirkan JCP malam ini.

Sesuai penjelasan konduktor Budi Utomo Prabowo, tema Simpul dalam konser malam ini memang dirasa cocok mewakili pernyataan sikap JCP sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakatnya. Alat-alat gesek memiliki dawai yang hanya akan bisa dibunyikan jika diregangkan dan diikat dengan simpul di kedua ujungnya. Apa yang kita butuhkan sebagai masyarakat adalah simpul demi simpul yang mampu mengikat individu-individu yang berbeda satu sama lain ini dalam suatu kesamaan. Dan memang kesamaan nasib biasanya memudahkan kita untuk bisa merasa sejajar dengan sesama.

Menutup konser malam ini, JCP memainkan Di Bawah Sinar Bulan Purnama karya penulis lagu R. Maladi yang diaransemen oleh Jozef Cleber – yang juga mengaransemen Indonesia Raya yang membuka konser ini. Secara puitis, karya ini seperti menekankan lagi tentang simpul tadi: kita semua berbagi kehidupan di bawah sinar bulan yang sama pula.

Selamat menjadi (sesama) manusia!

Belajar Musik Lagi

Selama hari Senin sampai Kamis kemarin gue kembali ke sekolah, tepatnya ke UPH Conservatory of Music untuk ikut masterklas untuk konduktor orkestra bersama 7 peserta lainnya yang berumur dari 18-40 tahun. Prof. Sigmund Thorp dari Norwegia memberi banyak sekali masukan dalam beragam sesi: kelas praktikum dengan solis, dengan duo piano, dengan orkestra, juga beberapa kelas seminar yang membahas teknik, teori, juga filosofi untuk pengembangan diri dan pengembangan visi pribadi kami masing2.

Gue pernah ikut kelas mengaba beberapa tahun lalu dengan Budi Utomo Prabowo tapi waktu itu banyakan bolosnya 😜, sehingga praktis gue lebih banyak belajar lewat praktek langsung kalau ada pentas2 dan latihan bersama Forteboy Music atau lewat nontonin segudang video di Youtube. Akibatnya banyak sekali teknik yang belum gue ketahui atau kuasai dan harus dirombak ulang oleh sang profesor.

Melihat teman-teman peserta lainnya dikoreksi, seperti menonton video di Youtube, mudah sekali untuk merasa bahwa gue udah tau akan ini-itu yang harus dilakukan atau dihindari ketika mengaba. Namun ternyata ketika tiba giliran gue untuk melakukannya, ada banyak sekali kecenderungan tubuh gue untuk melakukan kesalahan-kesalahan serupa, terutama karena pikiran kita harus dibiasakan untuk terus menyadari kecenderungan tubuh dalam melakukan gerakan-gerakan yang kurang efektif dan efisien yang pada saat bersamaan sudah menjadi kebiasaan untuk waktu yang lama.

Prof. Sigmund sering sekali menekankan pentingnya menyadari (being aware) kondisi pikiran dan tubuh di momen saat ini. Kepekaan kita akan hal ini (being in the moment) akan terus membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik, tidak tertinggal di masa lalu ataupun terlalu mengkuatirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Dan pemahaman ini sangat bisa diterapkan dalam lini kehidupan apapun, tidak hanya bagi para musisi.

Sangat terasa perbedaan antara mengetahui sesuatu (knowing) dengan melakukannya (actually doing it), namun yang lebih penting lagi dari sekadar melakukan sesuatu adalah kita harus menjadi sesuatu (being, rather than doing). Dan ini selalu ditekankan oleh Prof. Sigmund, bahwa kita adalah “human being”, bukan “human doing”. Apapun instruksi atau tindakan yang kita lakukan sebagai dirigen tidak akan berarti jika kita tidak benar-benar menjadi satu dengan musik yang kita mainkan.

Beliau belajar Zen, Taoisme dan juga Chikung (Chi Gong) dan mengajarkannya ke semua muridnya. Penelitian PhD nya telah membuahkan hasil metode pengajaran yang ia sebut sebagai “The Anatomy of Conducting”, kumpulan dari pengalaman pribadi, pengalaman guru-guru dan koleganya sebagai dirigen dari hasil wawancaranya selama bertahun-tahun.

Ada satu hal lagi yang amat menarik yang beliau sampaikan. Ia selalu memastikan bahwa kami para peserta ini di suatu titik dalam sesi-sesi latihan merasa tidak nyaman. Tidak nyaman berarti bahwa ia berhasil mendorong kami keluar dari zona nyaman masing-masing. Tidak nyaman berarti bahwa ia berhasil memaksa kami untuk mempelajari hal-hal baru. Tidak nyaman berarti kami dipaksa untuk menyadari kecenderungan masing-masing dalam melakukan gerakan-gerakan yang tidak efektif dan tidak efisien.

Kesadaran inilah yang terus digarisbawahi dengan harapan agar masing-masing dari kami akan selalu berusaha menjadi pribadi yang semakin baik lagi sebagai musisi maupun sebagai manusia.

Thx berat Michael Budiman dan UPH CoM yang mengorganisir kegiatan ini, thx berat temen-temen sesama peserta masterklas dan temen-temen musisi orkestra dan pianis-pianis UPH yang kebanyakan baru gue kenal. Semoga kita bisa segera bermusik bareng lagi!

Rest in Peace Jhonneysep Singarimbun

Jhonneysep adalah salah satu pemain klarinet terbaik Indonesia di generasi produktif saat ini. Ia baru saja menuntaskan perjuangan 29 tahun hidupnya kemarin Senin, 21 November 2017.

Menjadi musisi orkestra memang penuh dengan kegembiraan dan kepuasan yang tinggi setelah setiap konser, namun juga dituntut persiapan latihan bertahun-tahun untuk membentuk musikalitas di pikiran dan keterampilan jemari dan tubuh untuk menguasai instrumennya. Selain itu kini tuntutan standarisasi musisi orkestra makin membentuk kompetisi yang semakin tinggi pula demi posisi pemain yang lebih luwes dalam menguasai bahasa-bahasa musik yang berbeda, juga demi posisi principal per seksi instrumen yang membutuhkan porsi tanggung jawab dan kemampuan bekerjasama yang baik dengan musisi-musisi lainnya dalam sebuah orkestra.

Kini setidaknya ada 4 orkestra di Jakarta yang mengkhususkan diri memainkan musik klasik, dan ada kebutuhan yang semakin tinggi bagi musisi-musisi orkestra yang baru karena dalam banyak kesempatan, terutama di bulan November dan Desember, 4 orkestra ini harus saling berebut musisi-musisi terbaik karena memang belum banyak tersedia cukup banyak pemain di Jakarta.

Ada beberapa sekolah musik yang terus mencetak pemain orkestra, namun memang belum berlaku standarisasi yang merata bagi sekolah-sekolah yang berbeda ini. Untungnya orkestra-orkestra yang ada telah membentuk standar ini, yang tentunya harus diikuti oleh para pemusik yang baru ikut bergabung kemudian, entah melalui rekomendasi maupun proses audisi.

Dibutuhkan kepekaan dan musikalitas yang tinggi untuk bisa mengikuti standarisasi ini, dan Jhonneysep adalah salah satu pemain seksi tiup kayu yang sangat mampu beradaptasi dengan budaya kerja yang berbeda-beda antar orkestra, juga terbiasa untuk memfokuskan musikalitas dan keterampilannya untuk bermain maksimal.

Selain itu ia pun juga selama 2 tahun belakangan ini sedang meneliti dan mengembangkan produksi reed untuk klarinet, oboe dan saksofon dengan bahan baku tumbuhan semacam bambu yang tumbuh di kota asalnya, Pacitan. Penelitiannya sudah setengah jalan menuju diproduksinya reed lokal buatan anak negeri. Semoga ada yang bisa meneruskan perjuangan Jhonneysep di kemudian hari.

Terima kasih Jon, musikmu akan terus berkumandang!

Dansa Bandung Philharmonic Orchestra

Konser bertema “Dance” tadi malam oleh Bandung Philharmonic Orchestra bener2 membuka mata akan suatu khazanah orkestra yang selama ini ternyata baru gue kenali hanya sebagian kecil aja. Dengan repertoar yang sebenernya cukup standar di antara koleksi rekaman2 orkestra, ternyata masih ada banyak sekali sisi musikal yang masih bisa digarap oleh konduktor Robert Nordling, yang membuat semua karya itu terasa baru sama sekali buat penontonnya, setidaknya bagi gue pribadi.

Orkestra ini bisa terbilang masih sangat muda di kancah musik orkestra Indonesia. Namun keingintahuan gue akan orkestra ini akhirnya terpuaskan setelah perjalanan 3,5 jam ke Bandung untuk jadi saksi mata secara langsung pengalaman musikal yang mereka alami bersama Nordling selama 2 tahun ini.

Musik dan tari memang tak terpisahkan. Tari tanpa musik seakan menjadi kegiatan olahraga, sedangkan musik tanpa tarian menjadi entitas yang tak usai karena memang musik menggerakkan kita yang mendengarnya.

Berbagai jenis musik yang ditulis dengan motivasi mengiringi suatu pertunjukan tari atau terinspirasi bentuk-bentuk tari pergaulan dimainkan malam tadi. Ada suita dari balet “Swan Lake” karya Tchaikovsky yang dimainkan komplit, ada juga cuplikan dari balet “Firebird” karya Stravinsky, “Concerto for Violin and Oboe in C minor, BWV 1060” karya Bach, “Pavane for A Dead Princess” karya Ravel, ada juga “Suvenir dari Minangkabau” karya komponis muda Arya Pugala Kitti pemenang sayembara komposisi Bandung Philharmonic yang malam ini dipentaskan perdana, lalu juga ada “Blue Danube Waltz” yang notabene gak pernah bener2 gue sukai kecuali ketika dimainin tadi malam karena penggarapan yang sangat detil dan sangat menghidupkannya! Tak lupa mereka juga siapkan encore “Hoedown” karya Copland dari balet “Rodeo”.

Sayangnya gue belum sempet nonton proses latihan mereka. Namun dari tariannya, Nordling membuka mata gue bahwa mengaba suatu orkestra dengan efektif dan efisien itu tak sekadar hanya lewat mengkomunikasikan ide musikal secara verbal dengan jelas, namun juga lewat energi dan bahasa tubuh yang tepat.

Ketike gue menemukan bahwa gue bisa menularkan energi itu kepada para musisi, musik yang dihasilkan pun akan sesuai dengan energi yang gue minta dari mereka. Namun masih sulit bagi gue untuk gak ngos-ngosan setelah setiap latihan dan pentas karena gue mengeluarkan energi itu dengan tidak efisien. Dirigen-dirigen terdepan dunia sangat menguasai teknik mereka dan bisa menerapkannya dengan sangat effortless, tak terkecuali Nordling. Gue bisa melihat bahwa setiap ayunan dan gerak-geriknya sangat sederhana namun bisa sangat jelas menunjukkan detil2 yang ia minta dari para musisinya. Nyaris gak ada bedanya dengan Tai Chi. Elegan, dinamis, berwibawa, namun terutama sangat persuasif dan menginspirasi!

Memang tingkat kepercayaan diri dan penguasaan instrumen setiap solisnya belum merata di orkes ini. Hal itu terasa ketika beberapa principal di seksi gesek memainkan solo di beberapa bagian, intonasi dan proyeksi suaranya sudah terasa solo namun belum cukup keluar memenuhi ruangan aula. Untungnya hal itu tidak terjadi di seksi tiup, setiap solo dieksekusi dengan mantap. Di sisi lain ternyata standar yang ditetapkan pada saat audisi telah menyeleksi musisi-musisi yang lebih mengedepankan kemampuan bermain secara ensembel. Terbukti setiap frase yang dibangun bisa bernafas dan berbicara secara kompak kepada penonton.

Solis Lidya Evania dan Arjuna Bagaskara memiliki rekam jejak dan jam terbang yang cukup tinggi di beberapa panggung internasional. Dan lewat permainan mereka di Double Concerto itu, penonton dihipnotis oleh penguasaan mereka yang tak cuma sangat tinggi akan karya Bach itu, tapi juga lewat liukan dan alunan frase mereka yang terkadang elegan, terkadang sangar bisa berdansa satu sama lain dan juga dengan para musisi orkestra yang lainnya. Yuty Lauda pun tak hanya merespon dan menjaga keutuhan tempo namun juga menyatukan permainan kedua solis ini dengan segenap seksi gesek lewat permainan harpsichord-nya.

Ada Rama Widi yang malam ini bukan diundang sebagai solis namun sebagai bagian dari ensembel. Sama seperti setiap instrumen lainnya di orkestra ini tak ada yang luput dari giliran mendapat sorotan, terutama kehadiran Rama pun selalu terasa kuat di setiap petikannya. Hal yang belum cukup umum namun seharusnya bisa dihasilkan oleh setiap pemain harpa orkestra di Indonesia – setidaknya yang sejauh ini sering gue tonton – yang biasanya cukup tertimbun di balik tebalnya bebunyian puluhan musisi lain.

Selain itu pada bassoon dan seksi tiup logam ada beberapa musisi tamu dari Singapura, Thailand dan Belanda yang sangat bisa mengajak rekan-rekannya musisi lokal kita untuk menghasilkan tone simfonik yang memang masih jarang tereksekusi semantap itu di sini. Gue yakin pengalaman bermain orkes dengan mereka yang lebih berpengalaman akan memudahkan kita menguasai bahasa musikal itu untuk kemudian bisa kita tularkan lagi kepada yang lebih junior selanjutnya. Ada harapan yang semakin cerah di kemudian hari bagi perkembangan orkes nasional kini dengan sistem mentoring semacam ini.

Entah sejak kapan Bandung Philharmonic menggunakan instalasi reflektor untuk keperluan proyeksi suara orkestranya di Teater Tertutup Dago Tea House ini. Tapi dengan sangat terbatasnya ketersediaan gedung pertunjukan yang ramah akustik bagi suatu konser orkestra, hal ini menjadi sangat penting bagi mereka supaya energi yang mereka pancarkan bisa lebih efisien tersampaikan kepada penonton, tak terserap terlalu banyak oleh bahan pengedap suara di gedungnya maupun terpantul terlalu banyak di tembok. Salah satu strategi yang sangat manjur mereka terapkan!

Konser ini didukung tak hanya oleh Badan Ekonomi Kreatif Nasional, tapi juga sponsor-sponsor swasta dan pemerintahan serta puluhan donatur pribadi sehingga program orkestra ini bisa terus berjalan dan berkembang. Memang suatu orkestra adalah milik bersama antara para musisi, pihak manajemen dan masyarakatnya sendiri. Semakin maju masyarakatnya, semakin maju pula perkembangan kebudayaannya. Dengan harga tiket yang tidak terlalu murah namun masih sangat terjangkau, ternyata sajian musikal malam ini masih sangat dicari oleh masyarakat Bandung dan sekitarnya yang terus memenuhi kursi penonton hingga akhir konser.

Komplit sudah tarian tadi malam dipertunjukkan sangat menggugah oleh konduktornya, oleh para musisi, juga oleh sinergi yang sangat menginspirasi dari para penyelenggara dan para penontonnya yang sangat apresiatif. Terima kasih dan salut banget kepada publik Bandung yang terus-menerus menciptakan ekosistem yang bisa menghasilkan musisi-musisi top tanah air dari berbagai genre musik!

Gue cuma keluar Rp 150.000 untuk tiket konser ini namun batin gue semakin kaya sepulangnya :’)

Eroica

Selalu ada hal yang seru setiap nonton pertunjukan suatu orkestra remaja atau orkestra komunitas. Ada kepuasan yang terpancar dari permainan musik para musisi ketika mereka bisa mengeksekusi suatu karya yang dilatih lewat proses berbulan-bulan. Dan proses ini yang menjadi hal yang amat mewah bagi para musisi profesional karena detil komposisi dan orkestrasi yang begitu banyak bisa banyak digarap dan dirasakan bersama-sama evolusinya. Proses ini menjadi mahal karena memang biasanya orkestra profesional hanya sempat melalui 4-5 kali latihan menjelang setiap konser. Kebayang kan seberapa bengkaknya biaya latihan kalau untuk persiapkan sebuah konser harus sewa tempat latihan, ongkos transportasi dan konsumsi untuk belasan apalagi puluhan kali latihan? 😀

Di kepala gue, Orkestra Komunitas Concordia ini menjadi penerus orkestra remaja Twilite Youth Orchestra, di mana gue mengenyam pelatihan berorkestra selama 2004-2008. Twilite Youth Orchestra sangat berjasa bagi perkembangan gue pribadi, terutama dalam mengenali makin dalam idiom-idiom dan karakter beragam instrumen musik orkestra, dan membentuk gue menjadi arranger, orkestrator dan komponis seperti sekarang ini.

Budi Utomo Prabowo pun tak hanya meneruskan, tapi juga memajukan kualitas pelatihan ini semakin tinggi lewat Orkestra Komunitas Concordia, di mana ia tak hanya menyediakan wadah bagi para musisi muda ini, tapi juga sebagai laboratorium bagi para konduktor muda asuhan beliau.

Malam ini pertunjukan mereka menjadi spesial bagi gue tidak hanya karena kemunculan beberapa teman alumni TYO yang kini menjadi musisi senior pendukung Concordia, tapi juga turut tampil Ken Lila Ashanti sebagai solis dalam nomor Violin Concerto in a minor, Op. 82 karya Alexander Glazunov. Sejak nada pertama karya ini dibunyikan, gue bisa merasakan dalamnya interpretasi solis yang pada saat bersamaan berpadu dengan anyaman orkestra menjadi suatu ensembel yang menyatu. Permainan kontras dinamika dan tekstur antar bagian berlangsung sangat wajar walaupun jahitan orkestrasinya sangat kaya akan detil tersebar di seluruh seksi gesek, tiup dan perkusi.

Dua tahun lalu gue menyaksikan briliannya permainan Lila pada suatu resital di Erasmus Huis. Namun malam ini ada keleluasaan dan kepercayaan Lila yang sangat tinggi terhadap pengiringnya, sehingga tak hanya kejernihan frase musikal dengan segenap artikulasi yang dihasilkan lewat kontrol intonasi yang sangat baik, tapi juga ada perih, haru, rindu, gundah dan kelegaan yang bisa terasa lewat permainannya.

Ada dua karya Beethoven yang juga ditampilkan yaitu Overture "Die Geschöpfe des Prometheus", Op. 43 dan Simfoni No. 3 in Eb Major, "Eroica", Op. 55, belum termasuk encore "Waltz of the Flower" karya Tchaikovsky dari suita baletnya, "The Nutcracker", juga ada encore solo biola Lila dengan salah satu Partita karya Bach. Semuanya menunjukkan pada gue bahwa kebahagiaan itu memiliki segudang cara untuk bisa disebarkan kepada banyak orang, terutama kebahagiaan lewat menikmati musik, baik bagi pemainnya maupun penontonnya.

Terima kasih untuk proses bertahun-tahun yang kalian jalani, tak pernah ada satu momen pun yang sia-sia, terutama lewat konser malam ini! Momen ini biarlah menjadi salah satu episod heroisme bagi pencapaian dan dedikasi musikal kalian bagi teman-teman musisi muda, seiring tema konser kalian malam ini, "Eroica".

Menengok Musik dari Seberang Lautan

OPM itu singkatan dari Original Philippines Music, sebutan mereka untuk musik karya anak negeri mereka. ABS-CBN adalah jaringan televisi nasional pertama di Asia Tenggara (mengudara sejak 1953) dan mereka membentuk orkestra pops ini sejak 2012 dengan Gerard Salonga (kakak dari vokalis Filipina kelas internasional, Lea Salonga) sebagai konduktor dan pengarah musiknya. 
  
Album debut mereka ini berisi kumpulan lagu pop Filipina dari beragam era, dan menunjukkan kelas mereka sebagai salah satu orkestra pops terbaik di negerinya. Selama di sana pun gue terkesima banget oleh kualitas pemain brass section-nya yang bener2 nampol, bahkan waktu jalan2 ke salah satu mall ada brass band keliling mall dan main lagu2 macem Uptown Funk, Payphone dsb dengan sound yang penuh bgt tanpa mic dan tanpa partitur(!)

Lagu2 di album ini diaransemen oleh beberapa arranger top Filipina, termasuk konduktor Gerard Salonga sendiri. Bagi gue, penyanyi2 Filipina itu kuat banget baik dari segi teknik maupun warna suara dan ekspresinya. Eksistensi Lea Salonga di banyak pentas Broadway dan di beberapa produksi animasi Disney ternyata memungkinkan karakter penyanyi2 lirikal seperti ini yang banyak bermunculan di Filipina. 

Sayangnya gue mengharapkan lebih banyak lagu bertempo sedang dan cepat dalam album ini, tapi kebanyakan lagu ballad yang dipilih oleh “Kuya” Gerard selaku produser albumnya. 

Ini tantangan untuk para pelaku orkestra di Indonesia untuk bisa menghasilkan rekaman yang berada di standar internasional tanpa harus melulu bergantung pada orkestra impor, dan gue percaya kita sedang menuju sana. 

Manila itu sama sekali bukan kota yang lebih rapi dari Jakarta, justru agak sebaliknya. Masa iya kita mau kalah sama mereka dalam bidang kultural? 🙂

Sepenggal Kisah Hidup

Gw baru sadari bahwa selama ini gw belum pernah nulis tentang klarinet sampe baru aja gw ketemu blog dari seorang musisi muda, Samuel Adinugraha di http://musisiclass1.blogspot.com/. Di sana ada dua artikel tentang belajar klarinet. Hmm, uda sekitar 6 tahun berlalu sejak gw pertama belajar alat musik ini tapi seinget gw memang belum pernah gw tulis satu artikel pun tentang instrumen ini. Karenanya, gw akan mulai menulis walau mungkin isinya ngga penting-penting amat, hehe.

(kayanya ini taun 2005)

Kenapa gw dulu memutuskan untuk belajar instrumen ini? Sepertinya ini adalah pengalaman menarik yang pertama yang gw awali dengan instrumen ini. Berawal dari keinginan gw untuk bisa ikut main di orkestra. Sejak SMA gw uda sangat amat  kepincut dengan ensembel yang disebut dengan orkestra ini. Terutama waktu itu sekitar tahun 1999 sebuah band metal terbesar dunia (saat itu), Metallica, berkolaborasi dengan San Francisco Symphony Orchestra memainkan lagu-lagu mereka dengan aransemen yang bener2 gokil banget oleh Michael Kamen. Michael Kamen ini sendiri adalah seorang komponis yang banyak bikin musik untuk film seperti Lethal Weapon, Robin Hood-Prince of Thieves, Don Juan, juga X-Men 1. Baca pos ini lebih lanjut