Sepenggal Kisah Hidup
14 September 2010 3 Komentar
Gw baru sadari bahwa selama ini gw belum pernah nulis tentang klarinet sampe baru aja gw ketemu blog dari seorang musisi muda, Samuel Adinugraha di http://musisiclass1.blogspot.com/. Di sana ada dua artikel tentang belajar klarinet. Hmm, uda sekitar 6 tahun berlalu sejak gw pertama belajar alat musik ini tapi seinget gw memang belum pernah gw tulis satu artikel pun tentang instrumen ini. Karenanya, gw akan mulai menulis walau mungkin isinya ngga penting-penting amat, hehe.
(kayanya ini taun 2005)
Kenapa gw dulu memutuskan untuk belajar instrumen ini? Sepertinya ini adalah pengalaman menarik yang pertama yang gw awali dengan instrumen ini. Berawal dari keinginan gw untuk bisa ikut main di orkestra. Sejak SMA gw uda sangat amat kepincut dengan ensembel yang disebut dengan orkestra ini. Terutama waktu itu sekitar tahun 1999 sebuah band metal terbesar dunia (saat itu), Metallica, berkolaborasi dengan San Francisco Symphony Orchestra memainkan lagu-lagu mereka dengan aransemen yang bener2 gokil banget oleh Michael Kamen. Michael Kamen ini sendiri adalah seorang komponis yang banyak bikin musik untuk film seperti Lethal Weapon, Robin Hood-Prince of Thieves, Don Juan, juga X-Men 1.
Setelah itu gw dengerin juga album Six Degrees of Inner Turbulence-nya Dream Theater, yang mana terdiri atas 2 CD. Nggak, nggak, di album ini Dream Theater ngga melibatkan solois klarinet. Tapi justru di CD II, ada sebuah rangkaian komposisi musik yang panjang banget berjudul Six Degrees of Inner Turbulence yang terdiri atas 8 bagian. Di bagian pertama yang berjudul Overture mereka menggunakan aransemen yang penuh dengan orkestrasi (yang sampai sekarang gw masih yakin itu kerjaannya si Jordan Rudess, kibordis mereka). Ya, di lagu itu memang orkestrasinya hanya menggunakan kibor juga sih, tapi tetep aja buat gw aransemennya sangat hidup dan nggak klise. Bahkan mereka akhirnya sempat mementaskan lagu ini lengkap dengan orkestra di tahun 2006! Sayangnya eksekusinya waktu pentas itu ngga terlalu sempurna dan terkesan kurang latihan sih orkestranya.
(http://www.progarchives.com/album.asp?id=1623)
Ditambah lagi ketika gw SMA (sekitar tahun 2000-2003) kiprah Erwin Gutawa dengan orkestranya sungguh amat sangat fantastis! Terlebih lagi pada 2004 beliau merilis dan mementaskan konser Salute to Koes Plus-Bersaudara yang amat sangat menginspirasikan gw untuk bisa mencapai apa yang bisa ia capai dengan karya-karyanya.
(http://www.lyrics.co.id/albumdetail-88-erwin_gutawa___salute_to_koes_bersaudara_plus.html)
Singkat kata, ketika gw SMA itu gw uda bermimpi bisa memimpin orkestra gw sendiri suatu saat nanti. Gw berangan-angan ketika gw nantinya akan kuliah musik, gw akan mementaskan Six Degrees of Inner Turbulence itu dengan orkestra lengkap, bahkan sebelum album konser Dream Theater: Score XX-20th Anniversary World Tour dirilis!
Hingga akhirnya gw masuk kuliah musik di UPH pada tahun 2003, ternyata di sana belum ada orkestra yang terbentuk. Tapi klo dipikir-pikir, kalaupun uda ada orkestra di sana, gw belum pernah main instrumen orkestral apapun saat itu sih. Lalu gw inget beberapa temen gw yang mulai main alat-alat musik tiup. Ya, kebanyakan sih main saksofon yah. Gw tanya di mana mereka beli alat-alat itu, lalu gw pun diajak ke rumah sepasang suami-istri yang tidak hanya menjual-beli alat musik tiup tapi juga bisa memainkannya. Di rumah Ibu Tina di Condet itu gw ditunjukkan banyak sekali alat musik tiup, dari trompet, trombon, french horn, flute, klarinet, oboe, juga ada bassoon yang jadi hiasan rumah tangga di sana, hehe. Sebelum berkunjung ke sana gw sempet mikir bahwa gw naksir suara french horn yang bisa megah namun bisa lirih juga. Namun ternyata gw langsung jatuh cinta sama suara klarinet! Di saat itulah gw langsung mutusin untuk beli itu instrumen. Waktu itu baru semester pertama gw kuliah musik.
Kebetulan di tahun 2003 ada seorang dosen saksofon dari Jerman yang ngajar di UPH. Dan denger-denger pula, dia bisa main klarinet juga! Alhasil gw langsung banyak nanya ke Henning Schroeder dan dia banyak kasi informasi yang berguna banget untuk latihan klarinet. Saat itu gw masih ambil mayor instrumen piano. Lalu di semester kedua (awal 2004) gw memutuskan untuk banting setir dan ambil mayor klarinet dengan beliau. Ini adalah salah satu saat yang paling menentukan dalam karir gw sebagai musisi, hehe. Di masa-masa ini pula gw nekat main di gereja dengan modal yang amat terbatas ini, haha. Dengan pedenya gw main klarinet yang belum gw kuasai-kuasai amat dan sukses menghasilkan nada-nada melengking dan menjerit di waktu saat teduh setelah khotbah pendeta, disambut dengan tawa di antara jemaat yang sedikit teredam karena mungkin mereka ngga pengen gw tersinggung hahaha. Dengan pedenya pula gw mengiyakan ketika Pak Purwanto (waktu itu masih ngajar di UPH) ngajak gw ikut main di Orkes Simfoni Remaja Jakarta (ngomong2, nih orkes masi aktif nggak yah?) yang merupakan gabungan dari para musisi orkes Mahawaditra UI, orkes Perguruan Cikini, murid-murid Farabi dan beberapa sekolah musik lainnya di Jakarta.
(ya, inilah Henning Schroeder, tampak di sini sedang pentas dengan Opus21 di New York, http://www.opus21.org)
Ngga cukup dengan kepedean gw yang keterlaluan itu, waktu di pertengahan 2004 ketika ada pengumuman audisi Twilite Youth Orchestra angkatan pertama gw pun nekat ikutan. Di ruang tunggu audisi gw liat ada banyak musisi yang lebih muda dari gw dengan kemampuan mereka yang beragam, terutama yang jauh lebih oke kemampuannya dari gw. Tapi gw ngga mau ambil pusing dengan itu dan masuk ruang audisi dengan berpasrah pada kemampuan yang uda Tuhan berikan ke gw. Diterima atau nggak, silakan Tuhan yang bantu memutuskan saja, begitu pikir gw.
Ya, cerita selanjutnya gw diterima dan menjadi saksi mata dari pengalaman-pengalaman luar biasa bersama teman-teman baru gw ini. Di sini pula gw jadi makin kenal nggak hanya para konduktor ternama negeri ini, Eric Awuy dan Addie M.S., tapi juga kawan-kawan gw para musisi muda yang brilian, yang gw yakin akan mewarnai dan menorehkan namanya pada sejarah musik Indonesia generasi ini. Juga nama-nama seperti Oni Krisnerwinto dan Eugen Bounty, para musisi orkes senior yang sampai sekarang pun masih makin dahsyat dalam berkarya bagi musik Indonesia, gw kenal di wadah musisi muda ini. Melalui keikutsertaan gw di orkestra ini pulalah gw didorong oleh Mas Eric dan Mas Addie untuk mentasin karya-karya aransemen orkestra gw. Terima kasih banyak sekali untuk para mentor musik gw ini.
(salah satu penampilan TYO http://bit.ly/cSVEu5)
Gw belajar klarinet sama Henning Schroeder hingga tahun 2006. Setelah itu beliau kembali ke Jerman untuk kemudian pindah lagi ke Amrik untuk nglanjutin studi S3nya dan menikah di sana. Studi klarinet gw pun berlanjutlah pada Mas Anto Praboe (alm.). Beliau ini juga merupakan salah satu idola gw karena kiprahnya sebagai pemain klarinet, basklarinet, saksofon tenor dan aneka seruling di band prog-rock terdepan Indonesia (juga saat itu), Discus.
Di sisi lain, ilmu yang gw timba dari belajar Komposisi Musik pada Bernd Asmus dan Otto Sidharta benar-benar bisa gw terapkan karena bersinergi dengan pengalaman gw main di orkes-orkes lainnya pula. Saat itu ada pula Ulung Michael Tanoto, seorang senior dari angkatan 2002 yang orkestrasinya benar-benar brilian, baik untuk big band maupun orkestra. Gw banyak sekali belajar dari dia, melalui diskusi-diskusi informal, obrolan-obrolan yang sangat hidup, hingga pernah pula kita saling bagi-bagi kalo lagi kewalahan dapet pesanan aransemen. Hahaha, sayangnya masa-masa kewalahan itu ngga berlangsung sepanjang tahun 😛 Kita berdua juga yang sering banget bikin aransemen untuk big band 426, big band yang kami bentuk sendiri bareng temen-temen mahasiswa musik dan sempet mencapai masa-masa kejayaan di waktu gw masih kuliah. Sekarang Ulung berhasil mendapatkan beasiswa untuk lanjutin studi di bidang musik film di Carolina, bahkan dia dapet kesempatan untuk magang di Hollywood! Lalu gw melanjutkan perjuangan bersama 426 Big Band itu di kampus sebagai pelatih para pemain yang lebih muda lagi biar sama-sama semangat!
(ini dia Ulung lagi mainin karyanya junior gw, Iswara Giovani berjudul “Flutronics”, duet flute dengan bebunyian elektronis)
(ini kenang-kenangan dari salah satu masa kejayaan 426 Big Band di ITB Big Band Concert 2007)
Kisah-kisah yang amat inspiratif ternyata banyak sekali terjadi di dalam hidup gw. Termasuk sempat gw, Ulung dan Iswara Giovani (junior gw dari angkatan 2005) kebagian tugas bikin orkestrasi untuk pentas big band dan orkestra pada UPH Gala Concert yang pertama (tahun 2007 bukan yah itu?). Menurut gw dan teman-teman mahasiswa musik, pentas Konser Gala yang pertama itulah yang paling berkesan dan paling keren karena benar-benar mementaskan seluruhnya karya mahasiswa-mahasiswa musik, dari lagu karangan sendiri (ada karya gw, juga ada karya-karya Endah -ya, dari Endah n’ Rhesa), lalu aransemen sendiri, musisinya sebagian besar mahasiswa UPH, penyanyi-penyanyi utamanya adalah anak-anak mayor vokal yang sangat menonjol, bahkan sampai yang bikin dekorasi dan kostum juga anak-anak UPH (klo ngga salah dari Desain Interior dan DKV)
(itu konduktornya si Ulung, lalu di panggung sebelah kanan ada Endah bernyanyi dengan sangat cantik)
Yah, itu sementara kisah yang bisa gw susun dengan ilustrasi-ilustrasi yang semoga menarik. Semoga kisah ini pun bisa menjadi inspirasi buat temen-temen karena dalam hidup ini, gw yakin bahwa kita ngga akan pernah bisa kehabisan inspirasi. “To inspire is to breathe”, begitulah kata Diatra Zulaika, jadi selama kita bernafas, kita akan saling memberi dan menerima inspirasi itu dari sekitar kita.
Pengalaman yang lebih banyak dibanding gw 🙂
Senior ya mas? hehehe
dah pernah maen di twilite nih?
halo, saya belum senior2 amat kok, hehe.
dulu saya juga ikutnya Twilite Youth, bukan di Twilite yang seniornya, lalu skrg sama temen2 bikin orkes sendiri untuk mainin repertoar kami sendiri.
Met kenal Sam!
Ping-balik: 2010 in review « Andreas Arianto's Blog