Banda (The Dark Forgotten Trail)

Barusan nonton film Banda, dan gue merasa tercerahkan kenapa bule2 Eropa jadi rakus banget dan saling bunuh demi menguasai rempah-rempah seperti yang sering kita denger di pelajaran Sejarah sejak SD.

Film dokumenter pertama garapan Jay Subyakto ini bener-bener cantik banget secara artistik. Animasi yang digunakan pun sebenernya bukan animasi yang keliatan fancy, tapi sangat efektif digunakan. Sinematografer yang terlibat juga adalah fotografer2 top Indonesia, di antaranya ada Oscar Motuloh, Davy Linggar dan Jay sendiri.

Musiknya digarap Indra Perkasa, yang lagi seneng-senengnya bereksperimen dengan synthesizer, dibantu oleh Jesslyn Juniata dan Ranya Badudu, sangat efektif bikin atmosfer yang adventurous sekaligus getir bagi film ini. Menurut gue kalau mereka pun bisa ikut terlibat dalam pengerjaan sound design-nya, hasil produksi audionya pasti akan lebih nge-blend lagi nih!

Kembali tentang filmnya. Reza Rahadian menarasikan evolusi Kepulauan Banda dengan sangat pas, membawa kita terhanyut dalam dongeng non fiktif, sambil secara bergantian para narasumber menceritakan pengalaman dan pengetahuan mereka. Ada pemilik perkebunan Pala yang menjelaskan pengolahan buah ini, juga bagaimana setiap bagian dari tumbuhan ini bisa dijadikan berbagai produk dari bumbu masakan, bahan kosmetik, hingga obat penenang. Ada juga sejarahwan yang menceritakan seberapa pluralnya elemen masyarakat Banda, hasil dari interaksi perdagangan beragam etnis dan agama sejak abad pertengahan.

Ada hal yang menarik terjadi di abad ke-17. Persaingan Belanda dan Inggris di Kepulauan Banda menumpahkan begitu banyak darah bagi kedua belah pihak, sampai akhirnya Belanda sepakat untuk menyerahkan Pulau Manhattan (di New York) kepada Inggris untuk ditukar dengan Pulau Run yang dipenuhi perkebunan Pala. Jadi Pulau New Amsterdam itu bergantilah namanya menjadi New York seperti yang kita kenal sekarang. ( https://en.m.wikipedia.org/wiki/Run_(island) )


(http://www.tigerblue.info/news-hub/2017/4/18/the-once-again-forgotten-run-island-manhattan-swap)

Fungsi Pala sebagai pengawet organik bagi bahan2 makanan akhirnya mulai surut setelah berkembangnya penggunaan kulkas secara umum di abad ke-19. Demikian pula dengan sakawnya orang-orang Eropa ini akan rempah2. Dan sejak itu pula kepulauan ini makin diabaikan dan VOC mengalihkan fungsi pulau2 ini menjadi tempat pengasingan bagi tahanan-tahanan politik seperti Cipto Mangunkusumo, Hatta, juga Syahrir di antaranya.


(Pulau Pisang kini dikenal dengan nama Pulau Syahrir, sedangkan Pulau Rosengain kini diganti namanya menjadi Pulau Hatta sebagai penghormatan akan kedua pahlawan nasional ini)

Paham kebangsaan para intelektual awal Indonesia ini malah makin menguat di sini, ditambah dengan meletusnya Perang Dunia II, mereka makin bisa memperjuangkan posisi Indonesia hingga akhirnya diakui sebagai negara yang berdikari di tengah pergaulan internasional.

Film ini tak hanya berhenti di sana, masih ada kelanjutan kisah dari miniatur Indonesia ini dalam narasi yang dirangkai sangat indah oleh penulis naskah Irfan Ramli. Gue sangat merekomendasikan film ini buat temen2 yang senang diajak berpikir dan menerjemahkan simbol2 visual.

Film Banda baru mulai tayang 4 Agustus kemarin dan hanya tayang di sejumlah kecil layar lebar XXI. Sayang banget kalau gak sempet nonton karena film dokumenter seperti ini jarang banget tayang di bioskop konvensional seperti XXI dan gue takut kalau penontonnya sedikit, film ini hanya akan tayang sebentar saja.

Membaca dan menonton sejarah adalah usaha memahami ke arah mana kita akan melangkah di depan nanti.

PS: Reza Rahadian membacakan "Cerita Buat Dien Tamaela" karya Chairil Anwar dengan sangat indah di penghujung

Tiga Dara (1956, Usmar Ismail)

Tiga Dara, karakternya stabil en kuat bgt semua tokohnya. Alurnya ya spt alur film2 jaman dulu, gak secepet film2 skrg editingnya. Nonton film ini emg mesti masukin ke dalam konteks perkembangan film Indonesia maupun luar negeri sih. Tapi memang secara umum film2 di jaman itu pendekatan aktingnya lbh seperti akting utk teater, jd gak semuanya kerasa senatural itu ya. 

Isu ttg cewe diuber nikah memang masih relevan ke jaman sekarang, tapi bahkan di tahun 1956, tahun tayangnya film itu, topik ini pun sudah dipertanyakan karena kita sebagai manusia seharusnya gak perlu dipaksa nikah hanya karena udah berumur sekian. Juga dipertanyakan di tahun segitu adalah apakah kebahagiaan seseorang ditentukan oleh apakah anak/cucunya uda berkeluarga di umur tertentu. Dan Usmar Ismail berhasil membungkus pertanyaan2 ini dengan memberikan ruang dialog tanpa menggurui, dengan kemasan yang ringan dan menghibur terutama dengan musik dan lagu Jazz dan Melayu garapan Sjaiful Bachri.

*Bagi gue, kebahagiaan seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan tanggung jawab orang lain, termasuk anggota keluarganya sendiri. Menikah hanya untuk membahagiakan orang tua adalah salah satu cara untuk membangun neraka bagi diri sendiri kalau kebahagiaan diri sendiri nggak termasuk dalam pertimbangannya.

Pemikiran Paska Nonton Conjuring 2 

Setelah ntn Conjuring 2, gue baru sadar bahwa film apapun, ga peduli genrenya, akan bisa jadi film yg bagus ketika drama yang dibangunnya itu menyentuh relasi antar karakternya. Alur bisa dibangun naik dan turun pake apapun, tapi itu cuma alat utk bikin plotnya bercerita ttg gimana setiap karakter berinteraksi dan menghasilkan suatu perubahan di dalam dirinya masing2. Itu yang membuat kita ingin menjadi manusia yg lebih baik lagi bagi diri sendiri dan bagi orang2 yg spesial bagi kita.

Eh lalu kalo dipikirin lagi, ini berlaku gak cuma utk karya seni (seni apapun ya), tapi juga berlaku di bidang kehidupan lainnya spt bidang sosial, politik, budaya, agama, ekonomi, dsb. Suatu ide atau produk atau apapun itu baru akan bisa kita anggap penting dan/atau kita butuhkan ketika hal itu menyentuh sisi dari diri kita yg ingin terhubung dengan sesama manusia dan dengan lingkungan sekitar kita. 

Ada dua kemungkinan lainnya sih, tapi entar aja deh gue bahasnya 🙂 good night world!

Ada Apa Dengan Film Ini?

Ini kayak gabungan AADC sama 3 Hari untuk Selamanya, dicampur sama seri Before Sunrise-Sunset-Midnight karya Richard Linklater yg ngedepanin percakapan antara dua tokoh utama utk ngebangun chemistry sekaligus gulirin alur plotnya. Gue gak punya ekspektasi apa2 sblm ntn film ini, jd gue gak kecewa ahaha. 

Adinia Wirasti tetap yg paling bersinar di mata gue 😍 Pengkarakteran keempat cewe ini kuat bgt, bahkan sampe tetep dibawa ketika mereka masing2 main di film2 lain ya 😜

Musiknya Anto Hoed itu sedapp bgt, dari jaman dulu adukan sound2 yg dia pilih utk synth, drum loops, sound gitar, sound drum dan jg orkesnya cakepp. Apalagi ditambah pukulan drum Aksan yg sound signature snarenya selalu rendah pitchnya (kemudian banyak diadaptasi oleh drummer2 angkatan selanjutnya spt Rayendra en Marco Steffiano dgn signaturenya masing2) bikin musik di film ini sedap bgt dan sukses membuyarkan imej di kepala gue akan lagu2 Melly yg formulanya itu2 aja di film2 antara AADC pertama dan AADC 2 ini. Masih ada pemilihan lirik doi yg gengges sih di lagu barunya di film ini, tp yauda lah yaa 😋 Jadi ga sabar dgn karya Potret yg baru2 lagi dgn formasi baru ini setelah lagu Gimana Caranya.

Gue jd sedikit optimis bahwa tren bikin film yg punya semangat indie akan bangkit lagi setelah munculnya AADC 2 ini, jaman2 Janji Joni, Quickie Express, Rumah Ketujuh, yg mbahas topik2 yg gak terlalu standar, dgn soundtrack2 yg juga dgn sendirinya harus gak terlalu standar bunyinya. 

Tapi apa juga sih yg disebut standar? Toh pada akhirnya memang film2 yg berhasil jd penanda suatu generasi memang gak selalu bisa ditiru oleh sineas2 lainnya, bahkan belum tentu si sineas yg bersangkutan bs mengulangi kesuksesan sebelumnya juga. Setidaknya semoga pembahasan2 segar yg gak sekadar retoris bisa makin subur bertumbuh en nular di generasi purnama selanjutnya dgn kreatifitas masing2 yaks 😇😇😇

Kudos!