Uber dan Masyarakat Kelas Menengah

Di postingan ini gue nyebut diri gue sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah ngehe, ini istilah yang sering digunakan oleh pengamat sosial dalam konteks obrolan santai, merujuk ke kelompok masyarakat yang punya daya beli yang lumayan tinggi untuk membuat dirinya merasa perlu mengaktualisasikan dirinya lewat gaya hidup yang sebenernya belum tentu bisa dibiayai lewat penghasilan riilnya.

Ya, gue harus akui bahwa gue termasuk dalam kelompok yang seperti ini, yang mengeluh atas masalah-masalah sosial tanpa membuat diri sendiri menjadi bagian dari solusinya, merasa harus ikut mengenakan pakaian tertentu, mencoba makanan tertentu, menonton festival tertentu supaya gak merasa ketinggalan jaman, dan sebagainya.

Masih banyak yang gue sendiri belum cukup lakukan sebagai kontribusi gue terhadap masyarakat. Namun mengakui hal ini adalah awal dari perubahan. Kalau gue bukan bagian dari solusi, berarti gue adalah bagian dari masalah yang gue hadapi sendiri. Semoga gue bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi 🙏

Kaum menengah di Hindia Belanda pula yang pertama menyadari ketimpangan sosial antara kaum bangsawan Nusantara dan VOC (yang notabene punya simbiosis mutualisme) dengan rakyat jelata. Mereka ini bisa mencicipi pendidikan di bangku sekolah sehingga bisa menyadari bahwa sesungguhnya kita bisa berkuasa dalam menentukan nasib kita sendiri. Mereka inilah yang mengawali Pergerakan Nasional dan menyebarkan semangat ini ke lapisan masyarakat yang kurang seberuntung mereka hingga akhirnya terjadi Revolusi Nasional Indonesia.

Tanpa berpikir terlalu muluk, revolusi yang bisa kita usahakan adalah revolusi diri sendiri menjadi manusia yang lebih baik 🙏

Selamat berakhir pekan! 😇

Menghormati Identitas

Identitas adalah sesuatu yang bisa kita pilih, jadi sangat konyol ketika kita mempermasalahkan tentang sesuatu yang sifatnya bawaan lahir, seperti ras (dan seringkali juga agama).

Kita semua lahir dengan telanjang, lalu diajari bagaimana berpakaian, lalu pada suatu titik kita belajar untuk memilih pakaian kita sendiri. Apa ada orang yang mau dipaksa telanjang oleh orang lain?

Juga konyol ketika kita menyalahkan orang lain yang tidak berpakaian sama seperti kita, karena mereka memiliki alasannya sendiri ketika memilih pakaiannya. Memberi masukan mengenai gaya berpakaian adalah hal yang berbeda, kita tetap menyerahkan hak untuk memilih itu kepada yang kita berikan saran, bukan memukulnya kalau nggak mau nurut.

Cara kita berpakaian biasanya memang mencerminkan cara pandang kita terhadap diri sendiri di antara orang-orang lain di sekitar kita. Ada yang suka untuk tampil beda, ada juga yang berusaha untuk tampil serupa dengan kawanannya. 

Namun seperti apapun yang kelihatan dari luar, gak akan pernah bisa mencerminkan 100% apa yang ada di dalam pikiran setiap orang. Kita tidak bisa menilai apa yang dipikirkan setiap orang, kecuali lewat tindakannya, apakah berguna bagi orang lain atau merugikan masyarakat.

Suatu negara hanya akan bisa berfungsi dengan baik ketika tindakan orang lah yang dinilai, bukan apa yang dikenakan oleh rakyatnya, bukan kepercayaan apa yang dianut warganya, bukan pikiran apa yang ada dalam otak mereka. 

Sisanya hanyalah menyediakan pendidikan sebaik mungkin supaya warganya ikut pintar, ikut memikirkan bagaimana caranya berguna bagi orang2 di sekitarnya.

Mengeluh

Gue mengurangi komplen ttg orang lain karena beberapa hal. 

Pertama, karena gue sendiri sadar bahwa gue sendiri pun gak sempurna. Jadi daripada komplen mending gue berusaha membuat diri lebih baik dan gak menggantungkan kebahagiaan gue pada orang lain yang pasti juga menginginkan kebahagiaannya sendiri. 
Kedua, karena gue gak pengen cape mikirin kenapa orang gak berbuat seperti harapan gue. Selain itu, dengan mengharapkan orang seideal apa yg kita bayangkan, berarti kita ngga menerima mereka apa adanya. Bukankah harapan adalah awal dari penderitaan, seperti kata Buddha?

Namun memang gak sesederhana itu. Ketika gue mengurangi jumlah keluhan kepada orang lain, ternyata gue gak membantu mereka menjadi orang yang lebih baik walau itu cuma sebatas dari apa yang bisa gue lihat dari sudut pandang gue doang. Selain itu, orang tetap akan menyampaikan keluhannya terhadap gue, ga peduli gue mau anggap kata2 itu patut didengerin maupun engga. Tentunya keluhan orang2 terdekat akan lebih gue dengerin dan keluhan orang2 yang gak relevan dgn pandangan hidup gue akan gue cuekin tanpa gue memendam kekesalan karena ya itu tadi, gue maklum bahwa setiap orang memiliki cara hidupnya sendiri. 

Jadi pelajaran apa yang gue petik? Dengan gue berusaha untuk mengurangi mengeluh terhadap orang lain engga akan membuat orang lain pun mengurangi keluhannya terhadap kita, itu pasti dan fakta ini pun harus gue terima supaya gue bisa lebih bahagia lagi menjalani hidup. Selain itu, cara orang menunjukkan perhatian memang berbeda-beda. Ketika kita benar-benar peduli terhadap seseorang, kita ingin supaya orang itu bisa menjalani kehidupan dengan lebih positif (dalam hal apapun itu), dan teguran adalah salah satu cara untuk melakukan itu. 

Berarti gue ga bisa benar2 meninggalkan cara ini ketika gue ingin menunjukkan perhatian kepada orang2 yg berarti bagi gue, terlepas dari apakah mereka bisa menerima itu dengan mudah atau sulit. 

2015

Gue sempet berjanji sama diri gue sendiri minggu lalu setelah ulang tahun gue yang uda memasuki usia cukup genting ini. Janji itu lebih tepat disebut sebagai teguran keras buat diri sendiri sih bentuknya. Isinya adalah: mulai sekarang akhiri setiap hari dengan sedikitnya satu aja langkah ke depan, kalo nggak ya mending tidur lebih awal.

Beberapa tahun belakangan ini memang gue selalu tidur larut. Kadang berguna, tapi lebih seringan nggak. Dan di usia yang udah gak bisa dibilang muda ini gue ga punya kemewahan lagi seperti sebelumnya dalam dua hal ini kalo gue beneran pengen menjalani hidup ke arah yang gue inginkan.

Sejauh ini syarat baru itu udah mulai bisa gue penuhi sendiri, namun malam ini adalah langkah terbesar gue dalam menepati janji itu. Banyak banget langkah bodoh yang terus-menerus gue ambil selama ini. Bukan naif, tapi bodoh, karena walau salah tapi tetep aja gue lakukan lagi dan lagi. Namun aliran energi di semesta gak akan pernah berhenti mencari keseimbangannya, tanpa lelah terus menempatkan gue kembali ke posisi yang seharusnya. Setiap kali gue melenceng dikit, pasti ada sesuatu yang terjadi, apalagi ketika gue ngotot dan nyebrang jauh-jauh.

Memang kebodohan selalu punya harga. Dan gue terlalu bebal untuk mengakui itu sampai saat di mana gue berada sekarang. Takut dan sesal ga ada harganya kalo gue gak belajar-belajar juga untuk bisa naik kelas.

Memang lembaran kalender ini udah seharusnya disobek dan dibuang, ga peduli seberapa gue suka, sebelum gue bisa bener-bener jalani jilid yang namanya kedewasaan, yang sudah seharusnya gue jalani bertahun silam.

Ga ada lagi ruang untuk sesuatu yang bernama pembenaran diri. Mikir!

Kontrak Sosial, Dibahas dari Hubungan Antar Pacar

Ada sesuatu ttg bagaimana kita dilahirkan, dari keluarga yang seberuntung apa, yang mendidik kita menjadi pribadi yang seperti apa, yang membuat kita termasuk dalam golongan masyarakat yang mana.

Juga ada sesuatu ttg bagaimana kita belajar dari lingkungan dan pengalaman kita, yang menentukan apakah kita bisa masuk ke dalam pergaulan golongan masyarakat yang berbeda.

Ada sesuatu di balik berbedanya karakter tiap lapisan masyarakat. Perbedaan kelas ini menurut gue gak akan pernah hilang sampai kapan pun. Walau di abad ke-21 ini kita uda cenderung gak saling membedakan satu sama lain atas hal-hal yg bersifat fisik, tapi berbedanya kemampuan kita berbelanja, kemampuan kita mempelajari hal-hal baru, kemampuan kita menghasilkan uang akan terus membuat kita berada dalam suatu golongan masyarakat tertentu aja. Juga walaupun kesempatan mendapat pendidikan yang semakin tinggi pun juga semakin merata, namun negara2 yang tingkat pendidikannya sangat merata tingginya pun masih tetap memiliki perbedaan kelas di dalam masyarakatnya.

Ada hal yang sangat menarik. Saat ini kekuasaan sudah makin bisa dibagikan dengan lebih merata. Kini wewenang seorang raja pun disesuaikan dengan tanggung jawabnya bagi masyarakat. Seorang mafia tingkat tinggi pun ga bs lagi terlalu semena-mena dan juga harus tunduk pada kekuatan media sosial yang dibangun oleh kekuatan jutaan netizen dan konsumen.

Termasuk posisi wanita sebagai pelaku dan pendukung utama kekuatan ekonomi suatu keluarga bahkan suatu bangsa semakin diperhitungkan di masa ini.

Dengan semakin sejajarnya posisi tawar antara manusia, maka semakin tersingkirlah orang-orang yang kurang bisa menerima kenyataan ini, untuk kemudian entah menjadi minder, angkuh untuk menutupi kekurangannya, atau menyebarkan kebenciannya dalam bentuk cibiran, fitnah, bahkan juga kekerasan dal bentuk apapun.

Persoalan-persoalan dalam hubungan suatu pasangan, ortu dan anak, antar teman, dll pada umumnya didasari oleh kesadaran yang kurang akan hal ini, akan kekuasaan dan akan posisi tawar masing-masing. Itulah sebabnya JJ Rousseau mengajukan suatu konsep Kontrak Sosial, termasuk bahwa pemerintah hanyalah sekuat rakyatnya. Bagi gue sendiri ini berarti kekuatan sebuah negara dilihat dari kekuatan rakyatnya; solidnya sebuah keluarga dapat dilihat dari kualitas komunikasi antar anggotanya; kualitas suatu pasangan dilihat dari kemampuan masing-masing dalam saling memberi dan menerima kepercayaan satu sama lainnya.

Ada sesuatu yang mendorong kita dalam menentukan pilihan bagi hidup kita sendiri, termasuk memilih orang-orang yang ingin kita temui lebih sering di dalam kehidupan kita sehari-hari, yang lebih penting bagi kita. Termasuk dalam pertimbangan tsb adalah seberapa banyak nantinya kita akan mampu memberikan pengaruh kepada mereka. Harus diakui bahwa itu semua tak terelakkan. Namun semakin cepat kita menyadari hal ini semakin baik.

Kenapa?

Karena dengan begitu kita akan semakin mudah menyadari tanggung jawab kita pula untuk mengusahakan yang terbaik bagi orang-orang tersebut. Dan semakin banyak jumlah orang yang ingin melakukan yang terbaik bagi orang lain, semakin dekat pula kita dalam bersama-sama menciptakan surga di atas bumi.

Bukankah itu tujuan utama kita hidup di dunia ini: menyediakan rumah dan bumi yang semakin baik lagi bagi generasi setelah kita?

Kepala gue udah mau pecah dengan semua hal yang berkecamuk di dalamnya selama setahun ini, tapi gue sangat menikmatinya dan ga sabar untuk segera belajar lebih banyak lagi selama tahun 2015 nanti.

Selamat hari Minggu yang terakhir di 2014!

Grateful

I guess I’m getting nearer to the understanding of human psychology and how the world works. I learned so much this week, meeting people from various different backgrounds and found out there are only several types of people with their own tendencies.

I’m at the same time everywhere and nowhere. Becoming both an audience and an actor in the show of humanity makes me appreciate it all so much, and it leaves me nothing but becoming really grateful of what I have up ’till now.

We are here to develop anything that is given to us, and to really try making heaven on earth, wherever we go, whatever we do. And that is what it means to really live.

When I die, I might not leave so many behind for my descendants except a story to inspire them, and I hope it will be a great one.

Good night everyone.

Let’s continue spreading the love!

Desperado

Desperation is becoming a more common theme in the post-modern urban life of the 21st century society with all the medias provided to facilitate. What is the character of our generation, then? Looking for validations through every means available, real life and virtual?

B E B A S

Temaram sunyi yang menggelitik,
Erangan kucing yang sedang ingin bercinta,
Angan pun hembuskan harap,
Di antara kepulan asap kecil yang pedihkan pandangan,
Di antara sayup senandung tekukur,
Bersaing detak jam dinding di ruang ini,
Di mana aku menulis bebas,
Seakan diriku pun bebas,
Setidaknya lebih bebas dari sang pengendara
Yang baru saja menderukan kendaranya,
Berbalas seruan doa subuh
Di temaram sunyi yang menggelitik ini

20 Feb 2014

Harapan

Harapan adalah sumber dari kekuatan untuk bertahan, tapi harapan juga adalah awal dari kekecewaan dan penderitaan. Dua sisi mata uang yang tak bisa hadir tanpa satu sama lainnya dalam kehidupan. Tinggal apakah kita mau membiarkan lubang itu di dalam jiwa atau mengisinya dengan penerimaan diri.

1 Agustus 2014

Street Smart vs Book Smart

Asisten rumah gue adalah orang yang doyan ngobrol banget. Biasanya obrolannya ada di seputar rencana nyekolahin anaknya di kampung sana supaya dapet lingkungan pergaulan yang lebih oke, atau soal motornya yang mogok karena kerendem banjir.

Tadi dia cerita ttg pengalamannya kerja serabutan: kerja jd petani upahan di kampung, jualan sayur dan buah-buahan, sampe ke pengalaman kerja di Brunei. Nah, di momen ini obrolan jd sangat menarik. Dia sempet cerita ttg pergumulannya menghadapi suami yg gak punya kesadaran untuk kerja dan berperan sbg kepala rumah tangga. Gue sering denger cerita seperti ini, di mana sekitar lebih dari 70% rumah tangga di Jawa dinafkahi oleh istri, sementara suami kebanyakan hanya ngabisin duit yg dihasilin sang istri dengan judi dan mabuk. Gue kira cerita begini cuma ada di jamannya Rhoma Irama berjaya, ternyata masih banyak terjadi di abad-21 ini.

Kembali ke si Mba. Tabungan, beberapa rumah dan tanahnya abis dilego sang suami untuk judi. Namun dia gak mau menyerah sama nasib. Dia bertekad utk tetep bisa biayai sekolah anak2nya dengan terbang ke Brunei sambil tetep jalanin usaha dagangnya juga. Akhirnya setelah bbrp tahun dia pulang dan sang suami yg baru bisa merasa kehilangan dia (dan duitnya) memohon untuk balikan. Baru setelah mengalami titik terendah lah manusia bisa menyadari dirinya sendiri. Akhirnya mereka pindah tinggal di Ibukota dan suaminya tobat dan mulai rasain susahnya banting tulang.

Seru bgt denger cerita begini dari orang yg ngalamin langsung. Kita bisa rasain energinya gak cuma lewat suaranya saat bercerita, tapi juga sorot mata dan bahasa tubuhnya yang bikin kita masuk ke dunianya. Dan yang lebih bikin gue takjub: gimana caranya seorang perempuan yg tinggal di kampung bisa punya visi ke depan dan melakukan hal2 yang gue kira cuma bisa terpikirkan oleh orang yg punya tingkat pendidikan tertentu? Dia cuma lulusan SD tp pemikirannya bisa bikin dia jd orang yang tangguh dan ulet. Bahkan gue yg lbh beruntung dari dia, ga melihat diri gue seulet itu dalam bekerja dan menggapai impian2 gue.

Kita sering denger cerita ttg pengusaha2 yg bisa membangun usahanya sampe sangat besar padahal latar belakang akademis mereka gak tinggi2 amat. Sebaliknya kita jg banyak denger tingkat pengangguran kita masih lumayan tinggi walau makin banyak yg lulus kuliah. Itu nunjukin bahwa pendidikan formal aja gak akan pernah cukup utk menjamin masa depan. Pengetahuan dari pengalaman susahnya cari duit utk bertahan hidup lah yang bisa bikin kita kreatif muter otak utk ngakalin kesulitan2 kita dlm mencapai titik yg semakin tinggi dlm hidup.

Timbul pertanyaan baru di kepala gue: Gimana sebaiknya nanti gue mendidik anak gue untuk persiapin dia ngadepin masa depannya yang akan lebih seru daripada kehidupan di masa gue sekarang ini?

10 Feb 2014