Tentang Perempuan

Banyak perempuan yang gue kagumi untuk pencapaiannya, gak hanya mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi ibu rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga itu sendiri adalah pekerjaan yang sangat berat!

Namun juga berat perjuangan perempuan dalam mengembangkan potensinya dalam berbagai bidang. Seringkali dipandang sebelah mata dan dianggap tidak bisa mengerjakan pekerjaannya sebaik laki-laki. Juga tidak jarang kita mendengar penilaian bahwa seorang perempuan yang sukses “cuma” karena ia cantik atau karena campur tangan orang tuanya atau pasangannya dan sebagainya.

Ada standar ganda yang kita gunakan bahkan ketika kita mau mengagumi seseorang, tergantung apakah dia seorang pria atau wanita. Padahal gak peduli pria atau wanita, jumlahnya sama aja yang kompeten ataupun yang gak kompeten, bukan karena jenis kelaminnya tapi karena dedikasi dan usahanya.

Ketika kita membedakan apresiasi bukan berdasarkan prestasi, melainkan hanya berdasarkan hal-hal yang gak bisa kita pilih ketika lahir (=jenis kelamin, suku, agama orang tua, dan sebagainya), maka kita sedang melakukan diskriminasi dalam pikiran.

Dunia abad ke-21 dalam banyak hal memang sudah membawa kemajuan yang lebih baik bagi manusia, termasuk bagi para perempuan. Kita sudah bisa mengapresiasi para perempuan tangguh yang berprestasi dalam berbagai bidang, kita juga sudah mulai bisa mengusahakan lingkungan yang semakin ramah (=aman) bagi wanita. Namun masih banyak sekali tempat di muka bumi ini, termasuk di Indonesia, di mana para perempuan harus merasa takut untuk berjalan sendirian di luar rumah.

Masih banyak sekali orang yang ketimbang memikirkan bagaimana menciptakan keamanan, malah menyalahkan para perempuan yang menjadi korban berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan. Padahal bertindak jahat adalah tetap sebuah kejahatan, tak peduli justifikasi apapun yang mau digunakan untuk “membenarkan” tindakan itu.

Setiap perbuatan diawali dengan pikiran. Ketika masih banyak dari antara kita yang memandang perempuan sebagai objek, bukan sebagai manusia yang memiliki identitasnya sendiri, memiliki cita-citanya sendiri, memiliki kehendak dan keberanian untuk memperjuangkan keinginannya sendiri, maka sulit lah bagi kita untuk bisa mengusahakan sebuah dunia yang lebih baik dan adil bagi perempuan.

Banyak sekali cerita tentang pelecehan seksual yang dialami perempuan-perempuan di sekitar kita, hal-hal yang hampir tidak pernah dialami oleh para lelaki di tempat umum, hal-hal yang tidak kita dengar kalau bukan lewat kesaksian korbannya langsung. Dan kesaksian seperti ini jarang bisa kita dengarkan karena para korban merasa malu untuk bercerita. Seberapa serius kita dalam menanggapi cerita-cerita seperti ini akan menentukan seberapa kita sadar seberapa kurangnya peran kita dalam melindungi sesama manusia.

Seberapa serius kita menanggapi kesaksian-kesaksian dari yang sesimpel mengalami suitan atau ucapan menggoda atau colekan atau gerayangan dari orang-orang tak dikenal di tempat umum, sampai yang lebih parah perkosaan dan pembunuhan, itu akan menentukan seberapa masih kurangnya keadilan dan keamanan kita wujudkan dalam lingkungan sekitar kita.

Lalu kita mau menyalahkan si korban karena pakaiannya “mengundang”? Banyak sekali kasus seperti ini menimpa perempuan yang berpakaian tertutup. Yang juga sama konyolnya adalah beberapa peraturan pemda yang mau mengatur pakaian yang dikenakan perempuan dengan tujuan untuk “melindungi” mereka. Padahal kekerasan seperti ini diawali oleh pikiran misoginistik yang mengakar dan sangat membenci kebebasan wanita.

Sekali lagi, ketika kita sulit untuk berlaku adil dalam pikiran, maka kita pun sulit untuk berlaku adil dalam ucapan dan tindakan. Perjuangan perempuan bukan hanya merupakan tanggung jawab para perempuan. Perjuangan perempuan juga berarti perjuangan untuk kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil dan beradab, dan itu adalah tanggung jawab kita bersama sebagai masyarakat.

Semoga Hari Ibu yang kita peringati hari ini mengingatkan kita untuk terus berusaha berlaku adil dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita terhadap sesama manusia, tanpa memandang jenis kelaminnya, suku, warna kulit, agama, orientasi seksual, cara berpakaian, atau pembeda-pembeda lainnya.

Semoga kita bisa terus menjadi manusia yang semakin baik bagi sesama manusia.

Administratif

Gue memimpikan sebuah dunia di mana persoalan kewarganegaraan hanyalah menjadi soal administratif.

Gue keturunan Cina lahir di Jakarta dengan orang tua yang ngobrol dengan bahasa Jawa dan pergi ke gereja. Sampai saat ini gue ga pernah melihat diri gue sebagai orang Cina, gue melihat diri gue sebagai bagian integral dari keindonesiaan paspor gue. Tapi di sisi lain pun gue ga bisa tutup mata atas nama nasionalisme terhadap kekurangan-kekurangan negara ini. Gue pun juga ga tutup mata terhadap hal-hal negatif yang pernah dilakukan oleh orang-orang atas nama gerejanya.

Ga ada satu kebenaran pun yang absolut tanpa kehadiran sudut pandang lainnya.

Percampuran budaya dan cara hidup yang berbeda-beda akan selalu bisa kita hadapi hampir di semua kota besar di seluruh dunia. Seseorang baru lebih bisa menghargai yang minoritas ketika sudah pernah tau rasanya menjadi minoritas. Untungnya gue gak benar-benar merasa sebagai minoritas di segala macam pergaulan gue. Ketika gue merasa sebagai minoritas, gue akan merasa kecil dan merasa gak terlibat (atau gak perlu terlibat) dengan kegiatan2/kejadian2 yg ada di sekitar gue, termasuk yg membutuhkan kontribusi gue.

Gue gak mau melepaskan diri dari kenyataan bahwa gue hidup di tengah suatu masyarakat yang mungkin banyak berbeda dengan gue. Gue gak mau menganggap bahwa kehadiran gue gak dibutuhkan. Gue juga gak mau menganggap bahwa gue gak punya hak yang sama untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, juga gak mau menganggap bahwa gue lebih berhak atas itu semua daripada orang lain.

Globalisasi total akan terjadi, dan sebisa mungkin gue ingin bisa bersahabat dengan orang-orang yang baru, yang mana keunikan budayanya pasti akan memperkaya diri gue juga. Sebisa mungkin gue gak mau menganggap bahwa hanya ada satu saja cara hidup yang pantas dijalani (dan menyangkal cara-cara hidup lainnya yang dianggap gak sejalan), kecuali cara hidup yang bisa terus berkontribusi terhadap lingkungannya.

Tanaman yang gak bisa bergerak aja (kecuali bertumbuh) tetap bisa punya kontribusi terhadap ekosistemnya. Gue yakin planet Bumi diisi oleh orang-orang yang terus berkontribusi meskipun cara hidupnya berbeda dengan gue.

Bahasa dan Pikiran – 2

Kembali ke pentingnya pelajaran Bahasa, ketika kita terbiasa menata pikiran menjadi kalimat yang sistematis, maka barulah komunikasi yang baik lebih mungkin terjadi. Tanpa komunikasi yang baik lewat bahasa, sangat mudah bagi kita untuk berkomunikasi lewat kekerasan. Kita melakukan kekerasan karena merasa diri gak dimengerti orang lain, lalu memaksakan kehendak lewat media yang melanggar hak orang lain.

Menurut gue perbedaan pendapat di media sosial adalah hal yang biasa, bahkan harus terjadi sebagai wujud dari kebebasan berpendapat. Semua orang ingin didengarkan. Namun di saat kita mulai mau mendengarkan, baru di saat itulah kita bisa belajar akan hal2 baru.

Sebenernya ada banyak yang mau ngobrolin penegakan hukum, termasuk yg mau gak mau akhirnya nyerempet soal agama. Menurut gue segala hal boleh dipertanyakan ketimbang semua2 dipendam dan nunggu meledak. Sayangnya banyak dari kita yg gak mendem2 pun terlalu siap meledak ketika ketemu pertanyaan atau pemikiran yang kita gak mau dengar.

Gak mau dengar atau gak mau tau adalah suatu hak, tapi bertanya juga adalah hak. Kita punya banyak sekali hak sebagai manusia yang boleh dikejar dan diupayakan, selama kita gak merampas hak orang lain yang pasti akan beririsan pula dengan kepentingan kita.

Perbedaan bukanlah sesuatu yang bisa dianulir atau dianggap gak ada. Kita tetap bisa saling membantu dan saling menjaga kehidupan dengan orang2 yg berseberangan paham dengan kita. Tapi ketika kita merasa lebih berhak atas keistimewaan ini itu (misalnya karena merasa lebih senior atau lebih spesial lainnya) dan menganggap orang lain gak berhak atas hal yang sama yang kita nikmati, kita udah gak menganggap diri kita sebagai sesama dari manusia lainnya.

Mari kita menjadi manusia yang berbahasa 🙏

Warga Negara

Soal kewarganegaraan adalah soal administratif, supaya kecatet sensus bahwa kita tinggal/bekerja di suatu area/lokasi tertentu. Tapi antara warga dari suatu tempat yang sama itu sama2 bayar pajak dari segala aktivitas ekonomi yang dilakukan di area itu. Beli makan kena pajak, dapet penghasilan kena pajak, beli barang juga kena pajak.

Kalo sama2 bayar pajak, apa iya perlu dipermasalahkan lagi hal2 lainnya? Kalo sama2 berkontribusi terhadap masyarakat apa iya perlu dipersoalkan lagi apa rasnya, kepercayaannya, jenis kelaminnya, atau orientasi seksualnya?

Tentunya kontribusi bukan hanya soal pajak. Tapi lewat pajak, pemerintah membantu warganya ikut berkontribusi demi tercapainya kesejahteraan sosial yang lebih merata. Kalau semua diharapkan kontribusinya (=pemerataan kewajiban) lewat pajak, berarti seharusnya gak salah juga kalau ada pemerataan hak atas kesempatan yang sama, gak peduli seberapa berbeda kita dari latar-latar belakang itu tadi.

Pada akhirnya kita memang gak cuma berbagi kehidupan di bawah langit yang sama, tapi juga sama-sama berusaha mewujudkan surga kebahagiaan di atas bumi yang sama.

Gak ada yang lebih spesial daripada yang lain. Walau sayangnya masih banyak yang merasa dirinya lebih berhak daripada yang lain.

Tentang Rasisme 2016

Sedih bgt baca kisah2 rasis di UK setelah Brexit dan di US stlh pemilunya. Sosok Trump seakan melegitimasi orang2 yang butuh pengakuan dengan cara merendahkan orang2 yg dianggap “outsider”. Ternyata di abad ke-21 ini hal2 seperti itu masih berlaku bgt dijadikan ukuran banyak orang untuk membuat dirinya merasa lebih baik, lebih pantas, lebih segalanya dibanding yang lain.

Memang sejatinya kita lebih mudah menyalahkan orang lain atas kekurangan2 diri kita sendiri. Ketika kita merasa gak ada yang salah atau kurang dari hidup kita, kita cenderung untuk gak nyari2 kambing hitam di diri orang lain. Tapi ketika kita gak hepi dengan kondisi kita, kita enggan untuk introspeksi dan membuat perubahan2 internal dari kebiasaan2 kita sendiri. Makanya isu2 SARA di mana pun sangat mudah untuk jadi populer, dan setelahnya kita sangat mudah digiring untuk kepentingan2 politik (dan ekonomi) segelintir orang tertentu.

Namun sampai kapan kita mau terus diperalat dan dipecah-belah, kapan kita mau benar2 memegang kendali atas nasib kita sendiri, dan kapan kita bisa bahu-membahu memperbaiki dunia dengan orang2 yang berbeda dengan kita?

Setiap masyarakat akan mendapatkan pemimpin yang pantas baginya, ketika kita hanya diam saat ketidakadilan terjadi, maka sudah sepantasnya kita terus-menerus ditindas oleh pemimpin. Sebaliknya ketika kita sadar akan hak dan kewajiban kita, akan tanggung jawab dan kemampuan memperbaiki nasib diri sendiri, kita akan mendapatkan pemimpin yang sanggup membawa kita ke peradaban yang lebih tinggi.

Ini era informasi, dan inilah saat yang paling tepat bagi setiap manusia untuk berani bersuara dan bertindak lebih bagi kemajuan dirinya sendiri, sebisa mungkin tanpa merendahkan orang lain yang juga berusaha memperbaiki nasibnya. Inilah saat yang terbaik untuk memelihara dialog yang beradab supaya kita makin bisa saling mengerti satu dengan lainnya.

Apakah kita bisa mencapai tahap berikutnya dalam kemanusiaan kita? Itu juga pertanyaan besar bagi diri gue sendiri.
Selamat malam,

Andreas Arianto

Diplomasi?


Gue setuju sama Arie Keriting. Apa hubungannya cantik dengan kemampuan diplomasi yg top? Apanya yg top ketika retorika dijawab dengan retorika juga? 

Gak ada inovasi baru dalam cara berdiplomasi seperti ini ketika kita yang merasa sbg negara berdaulat hanya ngomel2 ketika ada orang yang protes akan ketidakadilan yang kita lakukan bagi provinsi tertentu dan lalu ngerasa insecure sehingga buru2 menafikan pihak2 yang protes tsb.

Berkali2 doi nunjukin contoh2 yang gak terlalu relevan dengan penegakkan HAM di Indonesia. Gak ada korelasi langsung antara ikut mendirikan komisi HAM di PBB dengan pengusutan kasus2 yang makin jadi bubur tapi terus numpuk di Indonesia. 

Gak ada hubungannya banding2in jumlah ratifikasi yg kita uda lakukan dgn yg dilakukan negara2 yg protes itu keika jelas2 kasus Munir gak kelar2, Lapindo juga masih lumpuran, kekerasan Mei 98 jg entah gimana, apalagi ngomongin korban pembantaian 1965 oleh Orde Baru. 

Terus kita2 mau bangga hanya karena kita bisa dongakin dagu ke negara2 yg lebih kecil di tingkat internasional?

Baca lagi isi piagam PBB, jgn lupa bahwa hak azasi manusia dijunjung tinggi dan bahkan ditulis sebelum pembahasan mengenai kedaulatan suatu bangsa! 

http://www.un.org/en/sections/un-charter/un-charter-full-text/

Kalau memang ingin merasa kita bangsa yang besar, mengakui kekurangan kita adalah hal yang wajar dilakukan karena itu bukan berarti menunjukan bahwa kita lemah melainkan siap untuk menjadi bangsa yang semakin dewasa lagi.