“Your music is never less or more than you are as a person” – Nadia Boulanger

https://youtu.be/DrnywDs1BMw

Look up for Nadia Boulanger on the internet, she was a really amazing woman! After graduating from Paris Conservatoire, she admitted that she didn’t have sufficient talent to be a composer, but yet she was a teacher of a whole generation of 20th century composers and classical music icons.

Among her students are notable composers Aaron Copland, Elliot Carter, Walter Piston (who wrote a handbook on orchestration!), Darius Milhaud, Philip Glass, Astor Piazzolla, even also Lalo Schifrin (who wrote that iconic theme for Mission: Impossible!), Burt Bacharach, Daniel Barenboim and also Quincy Jones.

Now Quincy Jones’ career in the popular music realm spans from the golden era of big band jazz (he worked as an arranger/conductor for Dizzy Gillespie, Sarah Vaughan, even Frank Sinatra), composed for movies and of course we have to mention his works with Michael Jackson before he went on to work with so many great musicians of the younger generation.

Back to Nadia Boulanger. There was a story about George Gershwin applying to study with her during his stay in Paris. Boulanger declined to teach this young man who was already making a name out of his exhaustive list of jazz numbers and jazz-classical crossover compositions. Not also Boulanger, even Maurice Ravel and Arnold Schoenberg also rejected to become his tutors because they could already see that Gershwin already had his own voice in his music!

Fast forward to the 21st century, Quincy Jones once offered to produce Jacob Collier’s recording. Collier respectfully declined because he used to always have a full creative control out of everything he produced. They remain good friends and Collier is also glad to find a mentor in him.

As a producer myself, having great teachers both formally and informally have equipped me with so much knowledge, experience and wisdom that is not so far from Boulanger’s advice to Quincy Jones. When she said that our music will never be less or more than we are as a person, I found that it’s never far from the truth. My music expands as I keep growing to become a better version of myself.

Getting rid of all the negative thoughts and emotion has led me to become better at producing music. And knowing how to become a better friend also helps me a lot in writing music that I never even have thought before.

And just like Nadia Boulanger, I also learned that I have to limit myself from doing too many things to be able to do even more, to continue spreading inspirations that I absorb with whatever I’m doing in life.

Growing up reading so many stories, I always admire people who are able to quickly adapt to different situations and make the best out of what they have. And that includes musicians like Quincy Jones who is involved in a wide range of musical genres. But one thing for sure: to be able to branch out, we need to be deeply rooted on a certain value.

Looking forward, I don’t really know where I’m going to go next. But one thing for sure, I know that I will enjoy everything that comes, because I will keep on trying to become a better person for everyone that matters the most.

Bali Journey 1

Selalu menyenangkan main musik bareng Rio Herwindo dan Stella Paulina, apalagi sekarang mereka bikin Celtic Room Bali dan makin berkembang dgn chemistry antar musisi yang kerasa seger banget! Gue dan Andika Candra tadi ikutan mampir gabung sesi latihan terbuka yang sering mereka adain tiap minggu di tempat yang berbeda2.

Grup musik berbasis komunitas seperti yang juga mereka bentuk seperti di Celtic Room Jakarta ini memang punya keunikannya sendiri. Gak seperti grup musik ensembel atau band pada umumnya, dengan konsep seperti ini sebenernya mereka memberi secara langsung kepada masyarakat sekitarnya, entah mereka jadi bisa langsung ikut nikmati aja atau juga secara aktif ikut main musik2 Irlandia.

Bali sebagai jendela Indonesia terhadap komunitas internasional memang memudahkan musisi seperti mereka ini untuk gak hanya mendapat apresiasi yang lebih besar daripada di Jakarta, tapi juga untuk berkembang secara musik maupun secara kultural. Ada beberapa musisi non lokal yang juga rutin ikut latihan dan tampil bareng mereka, salah satunya teman baru gue, Margaret Denmead dari Irlandia yang ikut main gitar, bernyanyi, juga bermain Bodhran.

Pertukaran budaya dan informasi sangat mudah terjadi di Bali, terutama karena lewat musik bisa terjalin perkenalan dan pertemanan yang lebih menyenangkan dengan orang-orang baru.

2 minggu di sini, setiap hari dipenuhi dengan musik. Ditambah dengan langit biru dan alam yang terasa sangat dekat dengan keseharian, gue bisa bilang bahwa musik lebih bisa dinikmati di sini.

Masih ada seminggu lagi untuk dinikmati, semoga gue bisa meneruskan segala energi positif yang telah gue terima dari setiap perjumpaan dengan alam dan dengan teman-teman di sini. Semoga gue bisa terus memelihara kedamaian dalam diri lewat memberikan diri gue terhadap sekitar.

Simpul Puitis

Gue merasa beruntung sekali dalam seminggu bisa nonton konser 2 orkestra besar Jakarta, yang satu Jakarta Simfonia Orchestra, satu lagi Jakarta City Philharmonic, dan keduanya memiliki kesan yang mendalam. Kedua konser inilah yang membuat gue makin yakin perkembangan dunia orkestra tanah air menjadi semakin menjanjikan.

Tentang JSO yang hanya memainkan 2 karya simfonik (Mozetich – The Passion of Angels dan Berlioz – Symphonie Fantastique) sudah gue bahas di status Facebook sebelumnya. Tapi yang menarik untuk kembali diungkit adalah bahwa ada beberapa pemain instrumen gesek yang main di kedua konser ini, dan sensitivitas mereka semakin tinggi tak hanya dalam bermain dan mendenyutkan musiknya bersama, tapi juga dalam saling mendengarkan satu sama lain, sehingga setiap musisi bisa memahami fungsi dari bunyi instrumennya masing-masing dalam membentuk anyaman dengan bunyi instrumen-instrumen lainnya.

Konser malam tadi adalah kali pertamanya JCP menjual tiket, dan kali pertamanya mereka hanya menggunakan ensembel gesek dalam pertunjukannya. Ada tantangan yang sangat tinggi dalam menggunakan instrumentasi seperti ini, yaitu bahwa musik yang dihasilkan harus mengantarkan energi yang sama besarnya kepada penonton walau tanpa kehadiran alat-alat tiup dan perkusi. Konsekuensinya, tak hanya dibutuhkan stamina yang tinggi dari para pemain, tapi juga kepekaan yang tinggi dalam mengusahakan setiap divisi instrumen (biola 1, biola 2, viola, cello dan kontrabas) untuk bisa solid secara ritme maupun secara intonasi nada.

Memang masih ada yang bisa disempurnakan di aspek ini, namun hal yang tak kalah pentingnya adalah intensitas dari setiap nada ataupun setiap tanda istirahat yang dibunyikan (dan tidak dibunyikan). Hal ini sangat terasa sejak lagu Indonesia Raya dimainkan sebagai pembuka konser. Baru kali ini gue denger lagu kebangsaan kita ini dimainkan hanya dengan orkestra gesek, dan ternyata justru ada keharuan yang lebih dalam terasa tanpa kehadiran alat tiup dan perkusi, dan penonton bagai disiapkan untuk merasakan kesyahduan konser malam ini.

Tak hanya syahdu, beberapa nomer seperti Serenade karya Edward Elgar dan Divertimento karya Bartok menantang para musisi dan konduktor untuk menghasilkan musik yang menyalak, berjingkat, melompat, juga galak di banyak momen. Tapi terutama di dua nomer terakhir, Serenade karya komponis Swedia, Dag Wiren; dan Adagietto dari Simfoni ke-5 karya Gustav Mahler, konduktor Budi Utomo Prabowo berhasil mengajak para musisi JCP menunjukkan penguasaan interpretasi mereka yang lebih berani lugas dalam artikulasi nada-nadanya, dengan kedalaman musikalitas yang lentur untuk menghasilkan kontras dinamika dan warna yang dibutuhkan di sana-sini.

Memang sebenarnya kalau kelugasan dan kelebaran jangkauan dinamika yang sama bisa dihasilkan di nomer-nomer lainnya – terutama di karya Budhi Ngurah, Tarian Kabut Kintamani, yang banyak mengadaptasi jalinan alat-alat gamelan ke dalam ensembel gesek di dalamnya – pasti akan lebih menguras energi para pemain tapi akan membuat pengalaman konser hari ini lebih tak terlupakan lagi.

Apresiasi tinggi juga perlu dialamatkan kepada para prinsipal, terutama Danny Robertus (biola 1), Obrin Kussoy (viola) dan Ade Sinata (cello) yang mengantarkan porsi-porsi solo mereka dengan sangat memukau dan proporsional, dengan kelenturan warna bunyi yang memungkinkan mereka untuk bisa tetap berbunyi selaras ketika harus kembali berbunyi tutti bersama rekan-rekan divisinya.

Perlu disebutkan juga adalah Vincent Wiguna yang memainkan orgel bambu yang keunikan warna bunyinya berhasil membuat Adagio in g minor karya Albinoni/Giazotto dan Canon in D karya Pachelbel menjadi lebih sejuk tropikal. Juga harpis Carlin Eureka Yasin yang turut mengiringi dengan dinamika dan artikulasi yang pas dalam Adagietto karya Mahler yang banyak menuntut kesigapan akan fluktuasi tempo.

Adagio for Strings karya Samuel Barber sangat pas dipilih sebagai persembahan untuk mengenang mereka yang menjadi korban kekerasan atas kemanusiaan yang terjadi belum lama ini di beberapa tempat di Indonesia. Secara pribadi, gue merasa sebenarnya karya ini bisa lebih lirih lagi dimainkan, terutama di titik klimaks sebelum bagian Coda. Namun tetap tidak menghilangkan kesyahduan yang sama yang ingin dihadirkan JCP malam ini.

Sesuai penjelasan konduktor Budi Utomo Prabowo, tema Simpul dalam konser malam ini memang dirasa cocok mewakili pernyataan sikap JCP sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakatnya. Alat-alat gesek memiliki dawai yang hanya akan bisa dibunyikan jika diregangkan dan diikat dengan simpul di kedua ujungnya. Apa yang kita butuhkan sebagai masyarakat adalah simpul demi simpul yang mampu mengikat individu-individu yang berbeda satu sama lain ini dalam suatu kesamaan. Dan memang kesamaan nasib biasanya memudahkan kita untuk bisa merasa sejajar dengan sesama.

Menutup konser malam ini, JCP memainkan Di Bawah Sinar Bulan Purnama karya penulis lagu R. Maladi yang diaransemen oleh Jozef Cleber – yang juga mengaransemen Indonesia Raya yang membuka konser ini. Secara puitis, karya ini seperti menekankan lagi tentang simpul tadi: kita semua berbagi kehidupan di bawah sinar bulan yang sama pula.

Selamat menjadi (sesama) manusia!

Belajar Musik Lagi

Selama hari Senin sampai Kamis kemarin gue kembali ke sekolah, tepatnya ke UPH Conservatory of Music untuk ikut masterklas untuk konduktor orkestra bersama 7 peserta lainnya yang berumur dari 18-40 tahun. Prof. Sigmund Thorp dari Norwegia memberi banyak sekali masukan dalam beragam sesi: kelas praktikum dengan solis, dengan duo piano, dengan orkestra, juga beberapa kelas seminar yang membahas teknik, teori, juga filosofi untuk pengembangan diri dan pengembangan visi pribadi kami masing2.

Gue pernah ikut kelas mengaba beberapa tahun lalu dengan Budi Utomo Prabowo tapi waktu itu banyakan bolosnya 😜, sehingga praktis gue lebih banyak belajar lewat praktek langsung kalau ada pentas2 dan latihan bersama Forteboy Music atau lewat nontonin segudang video di Youtube. Akibatnya banyak sekali teknik yang belum gue ketahui atau kuasai dan harus dirombak ulang oleh sang profesor.

Melihat teman-teman peserta lainnya dikoreksi, seperti menonton video di Youtube, mudah sekali untuk merasa bahwa gue udah tau akan ini-itu yang harus dilakukan atau dihindari ketika mengaba. Namun ternyata ketika tiba giliran gue untuk melakukannya, ada banyak sekali kecenderungan tubuh gue untuk melakukan kesalahan-kesalahan serupa, terutama karena pikiran kita harus dibiasakan untuk terus menyadari kecenderungan tubuh dalam melakukan gerakan-gerakan yang kurang efektif dan efisien yang pada saat bersamaan sudah menjadi kebiasaan untuk waktu yang lama.

Prof. Sigmund sering sekali menekankan pentingnya menyadari (being aware) kondisi pikiran dan tubuh di momen saat ini. Kepekaan kita akan hal ini (being in the moment) akan terus membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik, tidak tertinggal di masa lalu ataupun terlalu mengkuatirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Dan pemahaman ini sangat bisa diterapkan dalam lini kehidupan apapun, tidak hanya bagi para musisi.

Sangat terasa perbedaan antara mengetahui sesuatu (knowing) dengan melakukannya (actually doing it), namun yang lebih penting lagi dari sekadar melakukan sesuatu adalah kita harus menjadi sesuatu (being, rather than doing). Dan ini selalu ditekankan oleh Prof. Sigmund, bahwa kita adalah “human being”, bukan “human doing”. Apapun instruksi atau tindakan yang kita lakukan sebagai dirigen tidak akan berarti jika kita tidak benar-benar menjadi satu dengan musik yang kita mainkan.

Beliau belajar Zen, Taoisme dan juga Chikung (Chi Gong) dan mengajarkannya ke semua muridnya. Penelitian PhD nya telah membuahkan hasil metode pengajaran yang ia sebut sebagai “The Anatomy of Conducting”, kumpulan dari pengalaman pribadi, pengalaman guru-guru dan koleganya sebagai dirigen dari hasil wawancaranya selama bertahun-tahun.

Ada satu hal lagi yang amat menarik yang beliau sampaikan. Ia selalu memastikan bahwa kami para peserta ini di suatu titik dalam sesi-sesi latihan merasa tidak nyaman. Tidak nyaman berarti bahwa ia berhasil mendorong kami keluar dari zona nyaman masing-masing. Tidak nyaman berarti bahwa ia berhasil memaksa kami untuk mempelajari hal-hal baru. Tidak nyaman berarti kami dipaksa untuk menyadari kecenderungan masing-masing dalam melakukan gerakan-gerakan yang tidak efektif dan tidak efisien.

Kesadaran inilah yang terus digarisbawahi dengan harapan agar masing-masing dari kami akan selalu berusaha menjadi pribadi yang semakin baik lagi sebagai musisi maupun sebagai manusia.

Thx berat Michael Budiman dan UPH CoM yang mengorganisir kegiatan ini, thx berat temen-temen sesama peserta masterklas dan temen-temen musisi orkestra dan pianis-pianis UPH yang kebanyakan baru gue kenal. Semoga kita bisa segera bermusik bareng lagi!

Rest in Peace Jhonneysep Singarimbun

Jhonneysep adalah salah satu pemain klarinet terbaik Indonesia di generasi produktif saat ini. Ia baru saja menuntaskan perjuangan 29 tahun hidupnya kemarin Senin, 21 November 2017.

Menjadi musisi orkestra memang penuh dengan kegembiraan dan kepuasan yang tinggi setelah setiap konser, namun juga dituntut persiapan latihan bertahun-tahun untuk membentuk musikalitas di pikiran dan keterampilan jemari dan tubuh untuk menguasai instrumennya. Selain itu kini tuntutan standarisasi musisi orkestra makin membentuk kompetisi yang semakin tinggi pula demi posisi pemain yang lebih luwes dalam menguasai bahasa-bahasa musik yang berbeda, juga demi posisi principal per seksi instrumen yang membutuhkan porsi tanggung jawab dan kemampuan bekerjasama yang baik dengan musisi-musisi lainnya dalam sebuah orkestra.

Kini setidaknya ada 4 orkestra di Jakarta yang mengkhususkan diri memainkan musik klasik, dan ada kebutuhan yang semakin tinggi bagi musisi-musisi orkestra yang baru karena dalam banyak kesempatan, terutama di bulan November dan Desember, 4 orkestra ini harus saling berebut musisi-musisi terbaik karena memang belum banyak tersedia cukup banyak pemain di Jakarta.

Ada beberapa sekolah musik yang terus mencetak pemain orkestra, namun memang belum berlaku standarisasi yang merata bagi sekolah-sekolah yang berbeda ini. Untungnya orkestra-orkestra yang ada telah membentuk standar ini, yang tentunya harus diikuti oleh para pemusik yang baru ikut bergabung kemudian, entah melalui rekomendasi maupun proses audisi.

Dibutuhkan kepekaan dan musikalitas yang tinggi untuk bisa mengikuti standarisasi ini, dan Jhonneysep adalah salah satu pemain seksi tiup kayu yang sangat mampu beradaptasi dengan budaya kerja yang berbeda-beda antar orkestra, juga terbiasa untuk memfokuskan musikalitas dan keterampilannya untuk bermain maksimal.

Selain itu ia pun juga selama 2 tahun belakangan ini sedang meneliti dan mengembangkan produksi reed untuk klarinet, oboe dan saksofon dengan bahan baku tumbuhan semacam bambu yang tumbuh di kota asalnya, Pacitan. Penelitiannya sudah setengah jalan menuju diproduksinya reed lokal buatan anak negeri. Semoga ada yang bisa meneruskan perjuangan Jhonneysep di kemudian hari.

Terima kasih Jon, musikmu akan terus berkumandang!

Tentang MUSIC PUBLISHING – 1

Beberapa minggu belakangan ini gue banyak nulis partitur orkes untuk aransemen ulang/transkripsi lagu2 cover untuk dimainin orkes. Nah gue mulai membiasakan diri untuk selalu nulis nama tiap pencipta lagunya di sebelah kanan atas halaman pertama partiturnya.

Hampir semua lagu Barat itu mudah cari keterangan siapa aja nama pencipta lagu, termasuk apakah lagu itu uda direkam oleh beberapa artis. Misalnya lagunya Michael Jackson “Love Never Felt So Good” itu ditulis oleh Michael Jackson dan Paul Anka. Pasti dikit yang tau ini deh.

Tapi memang lumayan susah nyari nama pencipta lagu Indonesia di Google, harus ngubek-ngubek sampe ketemu website yang nulis nama mereka. Untungnya beberapa musisi yang ternama ada Wikipedia page-nya dan tercatat di situ karya mereka ada lagu apa aja. Namun kebanyakan yang gue temui adalah blog-blog yang cantumin lirik lagu2 ini atau bahas tentang liriknya, tapi mereka bahkan gak tulis siapa penciptanya.

Waktu itu pernah ada temen gue, Aldri (bassistnya Samsons) yang kerja di Massive Music Publishing yang pernah kasi tunjuk suatu website yang fungsinya jadi semacam search engine lagu-lagu Indonesia, jadi bisa tau suatu lagu itu penciptanya siapa, uda direkam oleh siapa aja. Sebenernya ini juga website yg dibikin beberapa music publishing Malaysia yang punya database puluhan (mungkin ratusan) ribu lagu Malaysia, Indonesia ataupun lagu Barat (dan mungkin juga Mandarin) yang beredar di sana. http://www.macp.com.my alamat web nya, ada menu Work Search lalu bisa tinggal input deh judul atau nama artisnya.

Lucu ya, lagu-lagu Indonesia segitu banyaknya yang beredar di sana (dan banyak direkam ulang artis mereka) sampai mereka yang sediakan fasilitas ini karena kebutuhan mereka yang tinggi sekali.

Ada beberapa temen gue yang bekerja di bidang music publishing ini dan cerita-cerita mereka itu bagi gue seru banget dan inspiratif. Nanti gue bagi-bagi lagi di tulisan selanjutnya 😁

Dansa Bandung Philharmonic Orchestra

Konser bertema “Dance” tadi malam oleh Bandung Philharmonic Orchestra bener2 membuka mata akan suatu khazanah orkestra yang selama ini ternyata baru gue kenali hanya sebagian kecil aja. Dengan repertoar yang sebenernya cukup standar di antara koleksi rekaman2 orkestra, ternyata masih ada banyak sekali sisi musikal yang masih bisa digarap oleh konduktor Robert Nordling, yang membuat semua karya itu terasa baru sama sekali buat penontonnya, setidaknya bagi gue pribadi.

Orkestra ini bisa terbilang masih sangat muda di kancah musik orkestra Indonesia. Namun keingintahuan gue akan orkestra ini akhirnya terpuaskan setelah perjalanan 3,5 jam ke Bandung untuk jadi saksi mata secara langsung pengalaman musikal yang mereka alami bersama Nordling selama 2 tahun ini.

Musik dan tari memang tak terpisahkan. Tari tanpa musik seakan menjadi kegiatan olahraga, sedangkan musik tanpa tarian menjadi entitas yang tak usai karena memang musik menggerakkan kita yang mendengarnya.

Berbagai jenis musik yang ditulis dengan motivasi mengiringi suatu pertunjukan tari atau terinspirasi bentuk-bentuk tari pergaulan dimainkan malam tadi. Ada suita dari balet “Swan Lake” karya Tchaikovsky yang dimainkan komplit, ada juga cuplikan dari balet “Firebird” karya Stravinsky, “Concerto for Violin and Oboe in C minor, BWV 1060” karya Bach, “Pavane for A Dead Princess” karya Ravel, ada juga “Suvenir dari Minangkabau” karya komponis muda Arya Pugala Kitti pemenang sayembara komposisi Bandung Philharmonic yang malam ini dipentaskan perdana, lalu juga ada “Blue Danube Waltz” yang notabene gak pernah bener2 gue sukai kecuali ketika dimainin tadi malam karena penggarapan yang sangat detil dan sangat menghidupkannya! Tak lupa mereka juga siapkan encore “Hoedown” karya Copland dari balet “Rodeo”.

Sayangnya gue belum sempet nonton proses latihan mereka. Namun dari tariannya, Nordling membuka mata gue bahwa mengaba suatu orkestra dengan efektif dan efisien itu tak sekadar hanya lewat mengkomunikasikan ide musikal secara verbal dengan jelas, namun juga lewat energi dan bahasa tubuh yang tepat.

Ketike gue menemukan bahwa gue bisa menularkan energi itu kepada para musisi, musik yang dihasilkan pun akan sesuai dengan energi yang gue minta dari mereka. Namun masih sulit bagi gue untuk gak ngos-ngosan setelah setiap latihan dan pentas karena gue mengeluarkan energi itu dengan tidak efisien. Dirigen-dirigen terdepan dunia sangat menguasai teknik mereka dan bisa menerapkannya dengan sangat effortless, tak terkecuali Nordling. Gue bisa melihat bahwa setiap ayunan dan gerak-geriknya sangat sederhana namun bisa sangat jelas menunjukkan detil2 yang ia minta dari para musisinya. Nyaris gak ada bedanya dengan Tai Chi. Elegan, dinamis, berwibawa, namun terutama sangat persuasif dan menginspirasi!

Memang tingkat kepercayaan diri dan penguasaan instrumen setiap solisnya belum merata di orkes ini. Hal itu terasa ketika beberapa principal di seksi gesek memainkan solo di beberapa bagian, intonasi dan proyeksi suaranya sudah terasa solo namun belum cukup keluar memenuhi ruangan aula. Untungnya hal itu tidak terjadi di seksi tiup, setiap solo dieksekusi dengan mantap. Di sisi lain ternyata standar yang ditetapkan pada saat audisi telah menyeleksi musisi-musisi yang lebih mengedepankan kemampuan bermain secara ensembel. Terbukti setiap frase yang dibangun bisa bernafas dan berbicara secara kompak kepada penonton.

Solis Lidya Evania dan Arjuna Bagaskara memiliki rekam jejak dan jam terbang yang cukup tinggi di beberapa panggung internasional. Dan lewat permainan mereka di Double Concerto itu, penonton dihipnotis oleh penguasaan mereka yang tak cuma sangat tinggi akan karya Bach itu, tapi juga lewat liukan dan alunan frase mereka yang terkadang elegan, terkadang sangar bisa berdansa satu sama lain dan juga dengan para musisi orkestra yang lainnya. Yuty Lauda pun tak hanya merespon dan menjaga keutuhan tempo namun juga menyatukan permainan kedua solis ini dengan segenap seksi gesek lewat permainan harpsichord-nya.

Ada Rama Widi yang malam ini bukan diundang sebagai solis namun sebagai bagian dari ensembel. Sama seperti setiap instrumen lainnya di orkestra ini tak ada yang luput dari giliran mendapat sorotan, terutama kehadiran Rama pun selalu terasa kuat di setiap petikannya. Hal yang belum cukup umum namun seharusnya bisa dihasilkan oleh setiap pemain harpa orkestra di Indonesia – setidaknya yang sejauh ini sering gue tonton – yang biasanya cukup tertimbun di balik tebalnya bebunyian puluhan musisi lain.

Selain itu pada bassoon dan seksi tiup logam ada beberapa musisi tamu dari Singapura, Thailand dan Belanda yang sangat bisa mengajak rekan-rekannya musisi lokal kita untuk menghasilkan tone simfonik yang memang masih jarang tereksekusi semantap itu di sini. Gue yakin pengalaman bermain orkes dengan mereka yang lebih berpengalaman akan memudahkan kita menguasai bahasa musikal itu untuk kemudian bisa kita tularkan lagi kepada yang lebih junior selanjutnya. Ada harapan yang semakin cerah di kemudian hari bagi perkembangan orkes nasional kini dengan sistem mentoring semacam ini.

Entah sejak kapan Bandung Philharmonic menggunakan instalasi reflektor untuk keperluan proyeksi suara orkestranya di Teater Tertutup Dago Tea House ini. Tapi dengan sangat terbatasnya ketersediaan gedung pertunjukan yang ramah akustik bagi suatu konser orkestra, hal ini menjadi sangat penting bagi mereka supaya energi yang mereka pancarkan bisa lebih efisien tersampaikan kepada penonton, tak terserap terlalu banyak oleh bahan pengedap suara di gedungnya maupun terpantul terlalu banyak di tembok. Salah satu strategi yang sangat manjur mereka terapkan!

Konser ini didukung tak hanya oleh Badan Ekonomi Kreatif Nasional, tapi juga sponsor-sponsor swasta dan pemerintahan serta puluhan donatur pribadi sehingga program orkestra ini bisa terus berjalan dan berkembang. Memang suatu orkestra adalah milik bersama antara para musisi, pihak manajemen dan masyarakatnya sendiri. Semakin maju masyarakatnya, semakin maju pula perkembangan kebudayaannya. Dengan harga tiket yang tidak terlalu murah namun masih sangat terjangkau, ternyata sajian musikal malam ini masih sangat dicari oleh masyarakat Bandung dan sekitarnya yang terus memenuhi kursi penonton hingga akhir konser.

Komplit sudah tarian tadi malam dipertunjukkan sangat menggugah oleh konduktornya, oleh para musisi, juga oleh sinergi yang sangat menginspirasi dari para penyelenggara dan para penontonnya yang sangat apresiatif. Terima kasih dan salut banget kepada publik Bandung yang terus-menerus menciptakan ekosistem yang bisa menghasilkan musisi-musisi top tanah air dari berbagai genre musik!

Gue cuma keluar Rp 150.000 untuk tiket konser ini namun batin gue semakin kaya sepulangnya :’)

Eroica

Selalu ada hal yang seru setiap nonton pertunjukan suatu orkestra remaja atau orkestra komunitas. Ada kepuasan yang terpancar dari permainan musik para musisi ketika mereka bisa mengeksekusi suatu karya yang dilatih lewat proses berbulan-bulan. Dan proses ini yang menjadi hal yang amat mewah bagi para musisi profesional karena detil komposisi dan orkestrasi yang begitu banyak bisa banyak digarap dan dirasakan bersama-sama evolusinya. Proses ini menjadi mahal karena memang biasanya orkestra profesional hanya sempat melalui 4-5 kali latihan menjelang setiap konser. Kebayang kan seberapa bengkaknya biaya latihan kalau untuk persiapkan sebuah konser harus sewa tempat latihan, ongkos transportasi dan konsumsi untuk belasan apalagi puluhan kali latihan? 😀

Di kepala gue, Orkestra Komunitas Concordia ini menjadi penerus orkestra remaja Twilite Youth Orchestra, di mana gue mengenyam pelatihan berorkestra selama 2004-2008. Twilite Youth Orchestra sangat berjasa bagi perkembangan gue pribadi, terutama dalam mengenali makin dalam idiom-idiom dan karakter beragam instrumen musik orkestra, dan membentuk gue menjadi arranger, orkestrator dan komponis seperti sekarang ini.

Budi Utomo Prabowo pun tak hanya meneruskan, tapi juga memajukan kualitas pelatihan ini semakin tinggi lewat Orkestra Komunitas Concordia, di mana ia tak hanya menyediakan wadah bagi para musisi muda ini, tapi juga sebagai laboratorium bagi para konduktor muda asuhan beliau.

Malam ini pertunjukan mereka menjadi spesial bagi gue tidak hanya karena kemunculan beberapa teman alumni TYO yang kini menjadi musisi senior pendukung Concordia, tapi juga turut tampil Ken Lila Ashanti sebagai solis dalam nomor Violin Concerto in a minor, Op. 82 karya Alexander Glazunov. Sejak nada pertama karya ini dibunyikan, gue bisa merasakan dalamnya interpretasi solis yang pada saat bersamaan berpadu dengan anyaman orkestra menjadi suatu ensembel yang menyatu. Permainan kontras dinamika dan tekstur antar bagian berlangsung sangat wajar walaupun jahitan orkestrasinya sangat kaya akan detil tersebar di seluruh seksi gesek, tiup dan perkusi.

Dua tahun lalu gue menyaksikan briliannya permainan Lila pada suatu resital di Erasmus Huis. Namun malam ini ada keleluasaan dan kepercayaan Lila yang sangat tinggi terhadap pengiringnya, sehingga tak hanya kejernihan frase musikal dengan segenap artikulasi yang dihasilkan lewat kontrol intonasi yang sangat baik, tapi juga ada perih, haru, rindu, gundah dan kelegaan yang bisa terasa lewat permainannya.

Ada dua karya Beethoven yang juga ditampilkan yaitu Overture "Die Geschöpfe des Prometheus", Op. 43 dan Simfoni No. 3 in Eb Major, "Eroica", Op. 55, belum termasuk encore "Waltz of the Flower" karya Tchaikovsky dari suita baletnya, "The Nutcracker", juga ada encore solo biola Lila dengan salah satu Partita karya Bach. Semuanya menunjukkan pada gue bahwa kebahagiaan itu memiliki segudang cara untuk bisa disebarkan kepada banyak orang, terutama kebahagiaan lewat menikmati musik, baik bagi pemainnya maupun penontonnya.

Terima kasih untuk proses bertahun-tahun yang kalian jalani, tak pernah ada satu momen pun yang sia-sia, terutama lewat konser malam ini! Momen ini biarlah menjadi salah satu episod heroisme bagi pencapaian dan dedikasi musikal kalian bagi teman-teman musisi muda, seiring tema konser kalian malam ini, "Eroica".

Celtic Room, the Happiness Room

Hari ini Forteboy Music bikin kolaborasi yang bener2 bikin hepi banget bareng Celtic Room. Mereka itu suatu grup musik yang sangat unik, gak cuma jenis musiknya dan alat2 musiknya yang dimainin, tapi anggotanya bisa siapa aja karena mereka ini berbasis komunitas. Sangat inklusif dan siapapun yang tertarik ikut main tinggal dateng aja bawa instrumennya.

Celtic Room ini dimotori oleh Rio Herwindo. Dia ini pemain biola yang gue kenal uda hampir 1 dekade, dan selama sekitar 5-6 tahun belakangan ini dia mendalami musik India dan Irlandia dengan biolanya. Cengkok2 dan nafas musik rakyat di dua budaya ini uda dia selami dengan serius dan dia sendiri uda bikin lumayan banyak komposisi baru dengan gaya musik yang eklektik, terinspirasi warna-warna budaya yang beragam!

Nah, spirit seperti itu yang nular ke komunitas temen2nya, terutama di Celtic Room. Hampir semua anggota inti Celtic Room ini bisa main lebih dari 2 alat musik! Semuanya alat akustik dan mereka bisa main di mana pun, termasuk kalo gak ada sound system, namun tetap selalu meninggalkan senyuman di pendengarnya!

Kebahagiaan dan ketulusan mereka bener2 tersalurkan tanpa filter ke penonton maupun ke semua pemain yang ikut ngejam sama mereka. Ini yang bikin mereka ini sangat spesial. Dan akibatnya, mereka memiliki gravitasi yang sangat kuat untuk menarik semakin banyak lagi teman2 baru dan musisi2 yang sama-sama punya ketertarikan akan percampuran budaya seperti yang mereka lakukan dalam musiknya.

Pada akhirnya, apa yang mereka lakukan dan bagikan adalah hal utama yang membuat kita suka musik: kebahagiaan. Kita pengen dengerin dan nonton pertunjukan musik karena kita pengen merasakan kebahagiaan itu. Kita seneng liat orang yang main musik, ya karena itu bikin kita seneng. Kita jadi penasaran dan pengen nyoba main alat musik karena kita pengen rasain kesenangannya. Kita enjoy sesuatu karena sesuatu itu bikin kita joyful. Sesederhana itu 😊

Gue selalu nambah temen baru setiap kali gue dateng ke pertunjukan musik mereka, baik yang profesinya memang musisi maupun musisi hobi, semuanya passionate banget akan musik! Lewat Rio, gue jadi kenal Stella, pemain piano, concertina (semacam akordeon kecil dari Inggris), bodhran (perkusi Irlandia), yang sekaligus ahli angklung(!). Lalu ada lagi Dedi yang main biola, viola, cello, juga tin whistle (suling Irlandia yg dimainin Andrea Corr itu loh). Ada Kahfi yang jago buanget main tabla (perkusi India) di jenis musik apapun. Ada Rivelino, penggila Radiohead yang asik banget main akordeon dan Uillean Pipes (semacam bagpipe dari Irlandia), dia juga seorang komposer yang juga entah mainin berapa banyak instrumen lainnya lagi. Ada Patrick, Billy, Cesar, Mas Arief yang sering main gitar dan banjo bareng mereka. Ada Bang Markus seorang etnomusikolog yang bisa mainin puluhan sampai ratusan alat tiup dari penjuru2 Nusantara juga Cina dan Indian Amerika, pada saat bersamaan dia juga ngulik banget alat petik Batak dan Kalimantan.

Kembali ke kolaborasi sore tadi dengan mereka. Gue selalu memendam keinginan untuk ajak mereka main salah satu lagu yang gue tulis, judulnya "Home is Where the Heart is". Dan impian ini terwujud tadi sore. Lagu ini terinspirasi banget oleh musik Irlandia, terutama gue tulis sepulang dari nonton The Hobbits episode 1, di mana para Dwarves nyanyi lagu "Far Over the Misty Mountains" di adegan penutupnya. Lagu ini udah pernah gue rekam dgn versi instrumental (ada di http://bit.ly/2vNU6X9), juga versi dengan vokal, yang liriknya gue tulis bareng Boy Marpaung dan Clarasia Kiky (belum gue publikasi di mana2 hehe). Asik banget gabungin string section dengan akordeon, suling Batak, Bodhran dan Tabla yang mereka mainin, lalu amat sangat dipercantik oleh merdunya nyanyian Marini Nainggolan yang sangat jernih!

Beberapa tahun lalu Rio sempat merekam lagu instrumentalnya yang berjudul "Song for V" di studio lama gue di Kelapa Gading. Saat itulah gue ketemu dengan Kahfi dan tablanya, dan saat itu Rio main biola dan mandolin di lagunya yang kental dengan warna musik India itu. Gue pikir, asik banget kalau gue bisa garap aransemen untuk lagu ini. Ternyata Rio punya lagu lain yang lebih cocok berdampingan dengan lagu Home tadi, yaitu "All You Need is Love" yang sangat syahdu. Dia tunjukin lagunya dan gue seketika langsung jatuh cinta! Semua temen yang gue tunjukin lagu ini pun juga sekali denger langsung suka banget sama lagu ini!

Akibatnya, gak sulit sama sekali buat gue nyari ide aransemennya. Lagu ini bener2 langsung memancing inspirasi ketika gue nulis not demi not dalam aransemennya. Gue tambahin bagian2 yang bisa makin mengentalkan warna Indianya, tapi sekaligus gue bisa kepikir harmoni, counter-melody dan ritme2 yang bisa makin ngeluarin sisi syahdunya lagu ini.

Gue hepi banget karena Dika Chasmala dan Billy Aryo pun juga mau ikut main di string section rekaman hari ini, karena gue jadi tau bahwa gue bisa kasi mereka aransemen yang lumayan menantang tanpa ada kekuatiran apapun 😁

Lalu sebagai penutup, gue ngajak temen2 Celtic Room untuk ngejam bareng lagu folk Irlandia. Rio pilih lagu "Party on Third Class", yang muncul di film Titanic (Leo diCaprio masih semuda Justin Bieber!). Nah, di sesi yang terakhir inilah semua musisi main dengan sangat lepas, termasuk temen2 Celtic Room yang sering ngejam bareng mereka (yang belum ikutan main di 2 lagu sebelumnya tadi). Bener2 kerasa enjoyment dalam bermusik bareng mereka ini, gak ada judgement, gak ada asumsi, gak ada eksklusivitas, semua emosi yang terbentuk hanyalah JOY!

Akhirnya semua pulang dengan membawa senyum bahagia dan kerut sisa tawa lepas, sambil kami menyampaikan sampai jumpa kembali kepada Rio dan Stella, dengan segala harap akan kebahagiaan bagi mereka di Bali nanti.

Tenkyu berats juga buat Aria Prayogi yang uda jadi juru rekam audio dan sekaligus ikut main sitar elektrik di lagu "All You Need is Love", juga Abrian yang mengabadikan momen spesial bersama Celtic Room tadi sore di kantor Anatman Pictures!

Video akan dirilis di Youtube channel Forteboy Music segera! (Nunggu giliran video2 lain yang uda kami rekam bulan lalu dulu yaa 😁)

My Musical Credo

​​
Pharrell once said that he is only as good as his collaborators, and I hold that true as well. As a producer I always aspire to absorb as much personality and thoughts from my artists and then build a musical portrait of them so that our synergy can make 1+1=3 possible 🙂
I enjoy working with various talents because by doing so I learn so much from them. I learn from their experiences, ideals, dreams, anxieties and knowledge no matter what genre/gender/cultural background they come from. And all of these experiences working with them only make it clear to me that we are all the same: we all want to be UNDERSTOOD, we all want to be CONNECTED.
I make music to connect with people. That is my deepest need in life, as well the strongest force that keeps me alive and drives me forward 🙂