Yang Berkuasa Ternyata Tidak Selalu Berbudaya

Baru saja gw pulang dari studio, di mana gw bantuin band temen gw yang sedang pusing. Ya, temen gw pusing, dan seisi bandnya pun juga pusing, padahal mereka baru saja dikontrak oleh sebuah label rekaman. Wah, kok bisa pusing toh? Nah, justru ini bukan hal yang aneh kalau sebuah band independen tiba-tiba pusing karena dapet tawaran kontrak rekaman suatu label. Betapa tidak, uda jadi rahasia umum di kalangan musisi bahwa bila suatu band dapet tawaran kontrak rekaman, maka serta-merta mereka cukup kehilangan hak eksklusif mereka dalam menentukan arah bermusiknya. Memang ada pengecualian dalam hal ini, di mana ada segelintir (ya, segelintir!) produser rekaman yang dapat melihat potensi kreativitas musikal band yang digawanginya untuk berkarya. Namun secara umum, hal inilah yang dihadapi oleh hampir seluruh anak band yang ketiban kontrak rekaman (setidaknya) di Jakarta.

Buat temen-temen yang belum kenal situasinya, mari saya jabarkan sedikit pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas ini tentang hal-ikhwal dunia rekaman profesional di negeri ini.

Paling mudah melihat fenomena ini di televisi nasional kita. Kapan pun kita menyetel televisi, saluran televisi apapun yang kita tonton, hampir dapat dipastikan kita akan melihat band-band dan penyanyi yang itu-itu saja yang menghiasi layar kaca kita. Jika bukan band yang itu-itu saja, maka jenis musiknya lah yang itu-itu melulu. Hal ini amat berbeda jika dibandingkan dengan situasi di awal dekade 2000-an, di mana masih banyak variasi jenis musik yang diusung oleh band-band papan atas tanah air. Musik Sheila On 7 berbeda dengan Padi apalagi Dewa. Musik Jikustik juga berbeda dengan Naif. Dan kita bisa dengan cepat membedakan tidak hanya jenis musiknya, tapi juga warna suara para vokalisnya. Namun kini kita jadi sulit untuk membedakan bahkan untuk menebak siapa atau apa nama band yang lagunya sedang diputar di televisi, dikarenakan ada penyeragaman warna musik yang dijagokan oleh label-label rekaman yang dewasa ini banyak bermunculan. Seharusnya di satu sisi, munculnya label-label rekaman yang semakin banyak adalah suatu tanda bergairahnya industri musik Indonesia. Namun di sisi lain, yang terjadi adalah penurunan standar kualitas musik yang ditawarkan kepada pasar. Kok penurunan? Ya iya lah, masyarakat kita dipaksa untuk mendengarkan musik yang itu-itu saja di televisi, belum lagi dengan topik lirik yang juga itu-itu saja dan hanya mengejar judul yang mudah nyantol di ingatan. Hal ini tidak akan terlalu saya protes tentunya, jika saja memang masih ada tersedia ruang bagi jenis-jenis musik lain untuk berkembang dan mendapat kesempatan yang sama untuk ditawarkan kepada masyarakat.

Namun dengan alasan “untuk mengikuti selera pasar”, maka para produser-produser baru itu hanya berani untuk menjual musik yang uda jelas-jelas sedang laris manis bak kacang goreng di masyarakat kita, terutama dengan meroketnya bisnis Nada Sambung Pribadi yang telah sukses mencetak orang-orang kaya baru di industri ini.

Pertanyaan kemudian muncul. Kenapa produser-produser itu rela hanya mau mengikuti selera pasar? Selain karena motif utamanya adalah duit, penyebab lainnya adalah karena mereka bukanlah seniman. Mereka tidak mempunyai suatu misi tertentu yang ingin mereka capai dengan musik yang mereka produksi bagi masyarakat yang membelinya. Di sisi lain, ternyata tidak sedikit pula produser rekaman yang idealis namun ikut terbawa arus demi mempertahankan nafkahnya.

Namun bagaimana dengan pengecualian yang tadi gw sebutkan?

Nah, di tengah ramai bermunculannya label-label rekaman baru, muncul pula segelintir produser idealis yang mempertahankan standar kualitas musik yang diproduksi oleh labelnya. Mereka berani untuk terus menyediakan grup-grup musik dengan warna yang unik, variatif, juga berkualitas. Mereka percaya bahwa masih ada orang di luar sana yang menikmati musik-musik yang mereka hasilkan. Mereka percaya bahwa dengan manajemen yang baik, musik se-tidak umum apapun dapat hidup di tengah masyarakatnya. Mereka percaya bahwa mempertahankan kualitas tinggi tidak sama dengan gagal di pasaran.

Namun apakah kita banyak mendengar tentang mereka ini di media?

Jawabannya adalah tidak dan ya.

Kenapa demikian?

Mari kita bahas.

Menjadi musisi yang berkualitas ternyata tidak berarti serta-merta kita akan bisa menjadi kaya-raya. Menjadi seniman musik yang sukses bukanlah diukur dari penjualan album, lagu dan Nada Sambung Pribadi. Namun sebaliknya, menjadi musisi yang berkualitas bukan pula berarti bahwa kita akan hidup miskin dan minim penghasilan. Kita bisa lihat musisi-musisi yang mempertahankan idealismenya dalam bermusik, bahwa mereka hidup bersahaja. Beberapa dari mereka bahkan bisa cukup jeli melihat peluang berusaha di bidang lain. Namun semuanya bahkan cukup memiliki nafkah untuk menghidupi keluarganya walau tanpa harus berpenghasilan miliaran rupiah.

Musisi yang sukses adalah mereka yang mampu membagikan keunikan warna musiknya kepada masyarakat, dan membuat orang-orang makin memiliki pengalaman baru lewat mendengarkan musiknya. Orang yang sukses (di bidang apapun) adalah orang yang memiliki sesuatu untuk dibagikan kepada siapa pun di sekelilingnya. Banyak orang yang kaya secara materi, namun mereka enggan berbagi, mereka enggan berpisah dari kepemilikannya untuk membuat orang lain bahagia. Padahal jika kita sanggup melepaskan diri dari kepemilikan kita, maka kita sendiri akan mampu menjadi orang yang bahagia jika berhasil membuat orang lain pun bahagia.

Itulah dia kesalahan umum yang terjadi, tidak hanya di bidang musik, namun juga di bidang kehidupan apapun itu. Terlalu banyak orang yang memegang peranan penting dalam berbagai aspek, namun mereka tidak memperlengkapi diri mereka dengan wawasan akan budaya. Akibatnya sungguh amat berbahaya: dalam bidang usahakan apapun, materi dan status terpandang-lah yang menjadi tujuan mereka. Dalam hal musik, produser-produser yang hanya ingin “cari aman” telah menjadi orang-orang yang berkuasa namun tidak bertanggung jawab akan akibat dari kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dalam perannya bagi perkembangan dunia musik Indonesia karena mereka kurang memperlengkapi dirinya dengan wawasan akan budaya. Nilai-nilai ekonomis haruslah diimbangi dengan nilai-nilai kultural. Jika tidak, maka makin lunturlah kemanusiaan kita tanpa budaya karena budaya-lah yang membuat manusia berbeda dari hewan.

Nah, sayangnya, jika kita hanya mengandalkan media televisi, maka kita tidak akan banyak mendengar tentang mereka yang lebih punya sesuatu untuk disampaikan kepada masyarakat. Kenapa? Karena televisi telah banyak dikuasai oleh begitu besar dan banyaknya kepentingan ekonomis yang sayangnya tidak terlalu diimbangi dengan pertimbangan-pertimbangan etis secara budaya itu tadi. Namun syukurlah, kita masih bisa berharap lebih banyak kepada media cetak dan radio, yang notabene jangkauannya tidak seluas televisi nasional dan niscaya lebih ideal dalam melakukan misinya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Karena itu lingkungan keluarga amat banyak berperan dalam membentuk generasi selanjutnya. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah dan pemerintah. Jangan biarkan diri kita hanya berfokus kepada kepemilikan. Jangan biarkan materi menjadi tujuan akhir kita dalam melakukan apapun. Sebaliknya putar otak, cari cara sehingga kita dapat melakukan apa yang memang menjadi cita-cita kita, meraih dan melakukan apapun yang membuat kita bergairah dan bersemangat dalam melakukannya. Dan dalam menjalaninya, jangan lupa tunjukkan rasa syukur kita kepada Sang Pencipta, dengan berbagi sebanyak-banyaknya kepada sebanyak mungkin orang lain. Orang yang semakin banyak membagikan dirinya, akan semakin menerima. Bagikan senyuman dan kebahagiaan, maka kita akan menerima itu semua bahkan lebih banyak lagi.

Dan sebelum kita menjadi orang yang berkuasa, terlebih dahulu kita harus menjadi orang yang berbudaya, agar kita dapat membuat semakin banyak perubahan positif dalam kehidupan pribadi, juga dalam kehidupan bermasyarakat.

Iklan

Tentang andreasarianto
I'm a musician with a point of view, that artists should play their part to help improve the society he or she is involved in. This is just one of the ways to realize my vision in life. --- Andreas Arianto Yanuar belajar Komposisi Musik di Universitas Pelita Harapan Conservatory of Music, lulus pada 2007 dan kemudian mengajar Ensembel Big Band, Orkestrasi dan Sejarah Musik di konservatori tersebut setelahnya. Pada 2009 ia menjadi penata musik dan konduktor Andreas Arianto Orchestra dalam tur konser bersama SLANK ke 6 kota. Ia juga bermain kibor, akordeon dan klarinet dalam grupnya, Andre Harihandoyo and Sonic People, yang telah menghasilkan 2 album sejak 2009. Pada 2011 ia menulis aransemen orkestra untuk lagu-lagu rakyat untuk album “The Sounds of Indonesia”, dengan Addie MS sebagai konduktor The City of Prague Philharmonic Orchestra dalam rekamannya. Sempat pula melatih orkestra komunitas GKI Gading Indah selama 2007-2011, termasuk menghasilkan 3 konser dan 1 album rekaman. Di jangka waktu yang sama, Andreas aktif pula dalam program pengenalan musik untuk siswa-siswa di Manado, Aceh dan Bali bersama Al Izhar Community Choir and Orchestra dalam rangka turut mempromosikan keselarasan dalam pluralitas Indonesia. Semenjak itu pula ia bercita-cita untuk terus melibatkan masyarakat dalam kehidupan musik dan melibatkan musik dalam kehidupan bermasyarakat melalui kegiatannya sehari-hari. Sejak 2011 ia banyak terlibat dalam penulisan musik untuk berbagai album rekaman, film animasi, konser musik, juga termasuk di antaranya terlibat sebagai arranger dan konduktor musik ilustrasi The Raid 2 yang dirilis Maret 2014 yang lalu.

18 Responses to Yang Berkuasa Ternyata Tidak Selalu Berbudaya

  1. anggitpy says:

    keren tulisannya, saya setuju banget dengan tiap kata yang ada di tulisan ini…. nilai ekonomis tidak diimbangi dengan nilai kultural, walhasil keluarlah karya2 yg seragam dan tidak demokratis…

  2. Zak' says:

    banyak pihak yg menganggap genre adalah isu,
    banyak jg pihak yg menganggap musik memiliki blok2 tertentu
    banyak jg pihak yg menggarap sesuatu tapi sebatas kulitnya saja

    kalau dalam musik, pendengar (pasar) yg baik tidak meminta ‘genre’, tetapi meminta kualitas.
    kalau kualitas yang ditawarkan tidak meningkat, maka kualitas dari ketiga elemen pokok industri musik – creative side (produksi), intermediary (distribusi), dan audience (konsumsi) – pun tidak akan meningkat

    • Setuju Bung Zak’, batas-batas dalam jenis musik itu sebenernya hanya diciptakan untuk mempermudah toko-toko musik dalam meletakkan produk-produk yang dijualnya dalam rak-rak tertentu. Dan bila kita sebagai pendengar hanya mau mendengarkan jenis-jenis musik tertentu, maka kita telah menyerahkan intelektualitas dan kehendak bebas kita kepada para ‘pencetak’ pasar tersebut, padahal begitu banyak warna lain yang bisa kita serap keindahannya di luar sana

  3. mikebm says:

    selamat datang di dunia blog yang lebih ‘terbuka’. ditunggu tulisan2 selanjutnya bung…

  4. diki says:

    Setuju, mas. Saya yakin kok kalo karya yang di latari dengan budaya itu merupakan karya yg (seharusnya) sukses. Tapi ini bukan soal duit dan popularitas. Ini lebih ke intelektualitas. kalo pun dapet duit dan popularitas. yah itu cuma bonus dan tanggung jawab si senimannya. Tapi kalo masih kere juga, yah berarti harus lebih “bebel” aja berkeseniannya (konsisten), toh saat memilih jadi seniman harusnya sudah ngerti sama misi dan konsekwensinya.
    Emang industri musik di Indonesia lagi kacau balau nih. Antara creative side-intermediari-pasar berjalan dengan sistem yang aneh…eheh

    Mas, kemaren sempet ikut acara listen to the world ga?

    • hehe, terima kasih Mas Diki. Masa depan industri musik Indonesia ada di tangan para pelakunya. komunitas harus terus dikembangkan, jangan hanya menunggu uluran tangan dari pihak lain kalau kita memang bisa berbuat sesuatu, bukan?

      Listen to the World acara apa di mana tuh Mas?

  5. freezebee says:

    saya ngga bs berkomentar banyak tapi saya setuju bener kl musik2 yg sering nongol di tipi itu sampah.. esteh2gelas apa lagi…

    • wah, kalau soal band yang itu sih, sebenernya masih bebas-bebas aja jenis musiknya. tapi yang cukup disayangkan adalah ketika satu jenis musik laku di pasaran (dan kita semua tau kenapa bisa laku laris manis di pasaran), maka semua yang lain berusaha meniru formulasi musik yang sama hanya untuk mencapai angka penjualan yang sama, mumpung trennya lagi laris. Padahal di sisi lain, kita dapat membuat formulasi musik yang terus berkembang, kalaupun tetap tak dipungkiri, pengaruh musik dari grup-grup lain pasti akan mewarnai musik yang baru itu sendiri.

  6. omiyan says:

    saya lebih suka dengan pemusik yang idealis mereka bermusik bukan semata karena tuntutan pasar tapi karena karakter hati seorang pemusik itu sendiri….

    • terima kasih atas komentarnya. Setuju, bahwa pemusik bukanlah bertujuan untuk jadi kaya secara materi lewat musiknya, tapi dengan banyak berbagi, ia akan semakin diperkaya lahir batin dan bila cukup jeli, ia akan dapat memenuhi kecukupan hidupnya pula tanpa harus berlimpah harta.

  7. Ferry says:

    Say what u need to say…

  8. pyoon says:

    ane setuju ama tulisan ente bro. menurut ane, aliran musik yang lagi marak skrng ini pasti ada masa waktunya, perlahan-lahan juga tenggelam nantinya. lihat aja tahun dulu yang lagi marak aliran ska, hampir semua band yang diputer di tivi main ska. tapi akhirnya juga tenggelam, kecuali band yang emang kompeten di aliran itu kaya Tipe-x.
    Band yang akan tetep eksis adalah band yang punya ciri khas baik vokal maupun aliran musiknya.untungnya band-band itu masih muncul di tengah semaraknya band-band yang ga punya identitas diri.

    • hehe,, yang menarik soal Tipe-X, justru menurut gw walaupun dia punya karakter yang kuat di segi vokal, tapi gw gak demen banget sama vokalnya itu loh, haha. dan sebenernya masih banyak band ska lain yang lebih bagus dari mereka, macem Jun Fan Gung Foo dkk, tapi sayangnya cuma Tipe-X yang berani konsisten. Itu berarti konsistensi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas musikal, hehe. Liat aja banyak band yang kurang oke secara musikal tapi banyak album yang berhasil terus ditelurkannya. Ya, itu bisa dipengaruhi oleh konsistensi label mereka sendiri juga sih.

  9. Ping-balik: Mempertanyakan Industri Musik dan Musik Industri « Andreas Arianto's Blog

  10. Ping-balik: 2010 in review « Andreas Arianto's Blog

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: